Kamis, 26 Januari 2017

MAKALAH GHIBAH RIZKI DARMAWAN

BAB I
PENDAHULUAN

بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيّئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضلّ له, ومن يضلل فلا هادي له, أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, و أشهد أن محمدا عبده ورسوله, اللهم صلي وسلم على نبينا محمد وعلى آله و أصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين,
أما بعد,
Mulut adalah nikmat yang paling besar yang telah Allah karuniakan kepada manusia. Ia bisa menjadi penyebab seseorang masuk surga, dan juga penyebab yang menjadikan seseorang masuk neraka. Allah dan Rasul-Nya telah mewanti-wanti manusia agar tidak terjerumus ke dalam dosa yang disebabkan oleh lisan. Karena begitu banyak manusia yang masuk neraka dengan sebab lisannya. Allah berfirman:
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf: 18)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
و إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله تعالى ما يظن أن تبلغ ما بلغت فيكتب الله عليه بها سخطه إلى يوم القيامة
“ Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kata yang tidak ia sangka akan (dimurkai-Nya), maka Allah catatkan baginya kemurkaan-Nya hingga hari kiamat”.[1]
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman dengan Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam”.[2]
وسئل عن أكثر ما يدخل الناس النار فقال الفم والفرج
“(Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم) ditanya tentang (sebab) yang paling banyak yang memasukkan manusia ke dalam neraka. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Mulut dan kemaluan’”.[3]
Diantara kejahatan mulut yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam neraka adalah ghibah. Ia adalah dosa besar yang banyak diremehkan oleh manusia, paling mudah dilakukan. Penyakit ini diderita oleh hampir seluruh kalangan manusia. Tidak ada yang bisa lepas dari penyakit ini kecuali yang dirahmati Allah Ta’ala.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis membuat makalah yang singkat ini yang menceritakan beberapa polemik tentang ghibah. Penulis berharap makalah yang jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.  Semoga Allah menjadikan penulisan makalah ini ikhlas untuk mencari wajah-Nya, dan memberatkan timbangan amal kebaikan penulis dan pembaca di hari perhitungan kelak. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
















BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Ghibah
Ghibah secara bahasa diambil dari kata ‘al-ghaib’ yang berarti lawan dari ‘asy-syahadah’ (nyata), atau seperti perkara yang lenyap dari manusia, baik yang lenyapnya terjadi pada hati maupun tidak. Makna seperti ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
“Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taghabun: 18)
Berdasarkan makna ayat ini, maka ghibah secara bahasa ialah menceritakan keadaan orang lain saat dia tidak ada, baik carita tersebut menyangkut yang disukainya maupun tidak, serta baik cerita tersebut mengenai kebaikan maupun keburukannya.[4] Adapun ghibah menurut istilah ialah:
أن تذكر أخاك بما يكرهه، فإن كان فيه فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته
“Ghibah ialah menyebut-nyebut keadaan orang lain yang tidak disukainya. Jika yang disebutkan tersebut terdapatnya maka itulah ghibah, jika tidak maka ia telah berdusta”[5].
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah, ketika ada salah seorang Sahabat yang bertanya, ‘Apa ghibah itu ya Rasulallah?’ Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ذكرك أخاك بما يكره قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال صلى الله عليه وسلم إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته
“(Ghibah ialah) engkau menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya. Dikatakan lagi, ‘Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?’ Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, ‘Jika keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah, dan jika tidak terdapat padanya apa yang kamu katakan maka kamu telah berbohong’”.[6]
Qatadah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ghibah itu ialah engkau menceritakan aib saudaramu, dan mengejek aibnya tersebut. Dan jika kamu berdusta, maka itu dinamakan dengan kebohongan”.[7] Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa ghibah menurut istilah ialah menceritakan aib orang lain saat dia tidak ada.

Pandangan Islam Tentang Ghibah
Ghibah adalah akhlak tercela yang wajib dijauhi bagi setiap Muslim. Telah sepakat kaum Muslimin tentang keharamannya, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi tentang keharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujurat: 12)
Firman Allah Ta’ala: ولا يغتب بعضكم بعضا “Dan janganlah menggunjing satu sama lain”, pada potongan ayat tersebut terdapat larangan bebuat ghibah.[8] Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menafsirkan sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hadits yang diriwayat oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah:
قيل يا رسول الله ما الغيبة ؟ قال صلى الله عليه وسلم: ذكرك أخاك بما يكره قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال صلى الله عليه وسلم إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته
“Dikatakan, “Ya Rasulullah! Apa itu ghibah?’ Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, ‘Engkau menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya’. Dikatakan lagi, ‘Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?’ Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, ‘Jika keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah, dan jika tidak terdapat padanya apa yang kamu katakan maka kamu telah berbohong’”.[9]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia berkata:
حرّم الله على المؤمن أن يغتاب المؤمن بشيء، كما حرّم المَيْتة
“Allah telah mengharamkan atas orang mukmin untuk menghibah mukmin lainnya dengan suatu apapun”.
Ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengingatkan kepada kaum mukminin bahwa apakah ada yang suka salah seorang diantara kalian memakan daging mayit saudaranya sendiri? Jika kalian tidak menyukainya, maka bencilah perbuatan ghibah. Allah telah mengharamkan ghibah atas kalian sebagaimana Dia telah mengharamkan bangkai”.[10]
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini:
والغيبة محرمة بالإجماع, ولا يستثنى من ذلك إلا من رجحت مصلحته, كما في الجرح والتعديل والنصيحة
“Dan Ghibah itu diharamkan berdasarkan ijma’, dan tidak ada pengecualian dalam hal itu kecuali terdapat mashlahat yang lebih kuat, seperti jarh dan ta’dhil dan nasihat”.[11]
Ghibah merupakan Al-Kabair (dosa besar) yang wajib dijauhi oleh seorang Muslim. Kesimpulan hukum ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (I/143/1) yang Al-Albani memasukkannya dalam kitab Silsilah Ahadits Ash-Shahihah-nya[12], dari Sahabat Azib, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
الربا اثنان وسبعون بابا أدناها مثل إتيان الرجل أمه وإن أربى الربا استطالة الرجل في عرض أخيه
“Riba memiliki 72 pintu. Tingkatan yang paling rendah seperti seseorang yang menggauli ibunya sendiri, sedangkan yang paling keji seperti orang menjelek-jelekkan kehormatan saudaranya sendiri”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
“Ketika di bawah ke langit dalam peristiwa isra’ mi’raj, aku melewati suatu kaum yang kuku mereka dari tembaga. Mereka mencakar-cakar wajah dan dada dengannya. Aku pun berrtanya, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Dia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia (ghibah) dan mencemarkan kehormatan mereka’”.[13]
Hadits yang mulia ini menunjukkan secara jelas bahwasanya ghibah merupakan Al-Kabair. Karena para ulama telah menetapkan kaidah dalam menentukan Al-Kabair, dan diantara kaidah itu ialah adanya ancaman bagi pelakunya pada hari kiamat. Inilah salah satu ancaman bagi pelaku ghibah. Wallahu a’lam.

Ghibah yang Diperbolehkan
Ada beberapa ghibah yang diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil syari’at. Diantara bentknya ialah:
1.             Mengadukan seseorang kepada penguasa atau hakim atas kezhalimannya. Dalilnya adalah firman Allah:  
“Allah tidak menyukai Ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. An-Nisa:148)

2.             Meminta fatwa, misalnya seseorang yang bertanya kepada mufti: “Halalkah bagiku untuk begitu dan begitu dengan istriku? Atau Fulan telah menzhalimiku, bagaimana aku bisa lepas dari kezhalimannya?”. Dalilnya ialah hadits Fathimah binti Qais, suatu ketika ia meminta fatwa kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang dua orang lelaki yang melamarnya –yaitu Abu Al-Jahm dan Mu’awiyah-, manakah yang akan ia pilih? Maka Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
أما أبو الجهم فلا يضع عصاه واما معاوية فصعلوك لا مال له انكحي أسامة بن زيد
“Adapun Abu Al-Jahm, maka ia tidak meletakkan tongkatnya, sedangkan Mu’awiyah sangat miskin, ia tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”.[14]

3.             Meminta bantuan kepada orang yang memiliki kekuasaan untuk mengubah kemungkaran dan petaka yang ditimbulkan seseorang. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak sanggup juga, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman”.[15]

4.             Mengingatkan kaum Muslimin agar waspada terhadap seseorang yang suka berbuat kejahatan dan merugikan mereka. Dalilnya adalah hadits Fathimah binti Qais yang telah lalu.[16] Rasulullah  صلى الله عليه وسلم menerangkan cacat Mu’awiyah dan Abu Al-Jahm agar Fathimah tidak merasa penyesalan di kemudian hari, dan ghibah seperti ini dibolehkan karena ada mashlahatnya.
5.             Menyebutkan orang yang melakukan kefasikan atau pelaku bid’ah secara terang-terangan, tanpa menyebutkan yang lainnya.
6.             Jika seseorang dikenal denga nama panggilan yang jelek. Misalnya si rabun, si pincang, si buta, si pesek, dan sebagainya. Ia boleh menggunakan nama itu hanya sebatas niat untuk mengenakannya saja, dan diharamkan memakai nama tersebut sebagai jati dirinya. Namun menyebutkan ihwalnya dengan selain itu adalah lebih baik.[17]

Sebab-Sebab Terjadinya Ghibah
Sebagaimana kata pepatah, “Tidak mungkin ada asap jika tidak ada apinya”, demikian juga gihbah. Diantara penyebab munculnya ghibah ini ialah:
Ø   Tidak memeriksa dan meneliti kabar yang datang. Sehingga menyebabkan ia langsung menghukum seseorang itu buruk, serta menyebarkannya tanpa penelitian terlebih dahulu. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)

Ø   Marah, begitu banyak kerika seseorang marah kepada saudaranya, maka ia langsung membuka aib saudaranya yang ia ketahui. Hal tersebut didorong oleh kemarahan yang telah menguasainya. Karena itulah Islam menutup pintu ghibah yang satu ini dengan cara melarang marah. Telah diriwayatkan ketika seorang laki-laki meminta wasiat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لا تغضب
Janganlah kamu marah”.[18]
Hadits ini termasuk diantara jawami’ul kalam Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Barangsiapa yang mampu menahan marahnya maka ia beruntung dan mendapatkan kebaikan yang banyak. Namun jika sebaliknya maka ia mendapatkan keburukan yang banyak. Ibnu Rajab berkata:
هذه يدلُّ على أنَّ الغضب جِماعُ الشرِّ ، وأنَّ التحرُّز منه جماعُ الخير
“Hadits ini menunjukkan bahwa sesungguhnya marah itu adalah kumpulan keburukan. Dan sesungguhnya dijauhkan darinya adalah kumpulan kebaikan”.[19]
Ø   Pengaruh dari lingkungan, karena hati manusia itu sangat lemah. Ia mudah terpengaruh oleh lingkungan. Bergitu banyak seorang Mukmin yang pada asalnya pendiam yang akhirnya menjadi peng-ghibah disebabkan oleh lingkungan yang buruk. Maka hendaklah seorang muslim memperbanyak do’a berikut ini:
يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك
“Wahai (Allah) yang membolak-balikkan hati! Tetapkan hatiku di atas agamamu”.[20]

Ø   Hasad, yaitu seseorang yang tidak suka dengan kenikmatan orang lain yang telah Allah berikan kepadanya, sehingga ia meng-ghibah saudaranya. Seorang mukmin wajib menjauhi sifat tercela ini, karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melarangnya dalam sabdanya:
لا تحاسدوا
“Jamganlah kamu hasad”.[21]
Ø   Ujub kepada diri sendiri hingga mencapai batas sombong dan takabur. Sehingga ia menganggap remeh saudaranya. Ia senantiasa meng-ghibah saudaranya agar ia senantisa berada dalam ketenarannya, ia tidak suka jika ada yang menyainginya. Sifat ujub ini sangat berbahaya, karena ia membawa kepada sifat sombong, dan kesombongan itu termasuk Al-Kabair. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر قال رجل إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنا ونعله حسنة قال إن الله جميل يحب الجمال الكبر بطر الحق وغمط الناس
“Tidak masuk surga orang yang memiliki sifat sombong sebesar dzarrah dalam hatinya’. Berkata Sahabat, ‘Sesungguhnya seseorang suka memakai pakaian dan sandal yang bagus (ya Rasulullah)’. Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai yang indah-indah. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia’”.[22]

Ø   Terlalu banyak bersenda gurau atau bercanda sehingga tanpa disadari ia menggunjing saudaranya sendiri. Ia tidak memikirkan setiap kata yang keluar dari mulutnya tersebut. Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
و إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله تعالى ما يظن أن تبلغ ما بلغت فيكتب الله عليه بها سخطه إلى يوم القيامة
“ Seungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kata yang tidak ia sangka akan (dimurkai-Nya), maka Allah catatkan baginya kemurkaan-Nya hingga hari kiamat”.[23]

Ø   Berusaha membebaskan diri dari tuduhan dan cacat. Yaitu ketika seseorang terkena tuduhan dan aib, maka ia membebaskan dirinya dengan cara menjatuhkan dan menceritakan aib orang yang telah mencelanya.
Ø   Merasa mendapat celaan dari orang lain. Kemudian ia mencela orang tersebut sebelum orang tersebut mencelanya. Padahal itu hanya suuzhan dan bisikan syaithan belaka.
Ø   Tidak memperhitungkan akibat yang ditimbulkan oleh ghibah.[24] Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS. Shad: 26)

Ø   Sering berkumpul untuk hal yang tidak berfaidah. Dari Abi Sa’id Al-Khudri, bahwasanya Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
إياكم والجلوس بالطرقات قالوا يا رسول الله ما لنا بد من مجالسنا نتحدث فيها قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم ,إذا أبيتم إلا المجلس فأعطوا الطريق حقه, قالوا وما حقه ؟ قال غض البصر وكف الأذى ورد السلام والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
“Jauhilah oleh kalian berkumpul di jalan-jalan”. Mereka berkata: kami tidak memiliki tempat lain untuk kami berbicara wahai Rasullah  صلى الله عليه وسلم“Jika kalian ingin berkumpul (disini), maka berikanlah hak jalan” apa haknya? “Tundukkan pandangan, membuang gangguan, menjawab salam, amar ma’ruf, dan nahi munkar”.[25]
Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin berkata: sabdanya “وكف الأذى” artinya tidak menganggu dengan perkataan dan perbuatan. Adapun dengan perkataan adalah mereka menceritakan orang-orang yang lewat. Sehingga mereka ghibah dan namimah.[26]

Atsar (Pengaruh) Ghibah
Ghibah memberikan dampak yang sangat membahayakan baik bagi pelakunya maupun bagi aktivitas Islam. Adapun dampak bagi pelakunya adalah:
Ø   Mengeraskan hati, hal itu dikarenakan ia banyak berbicara dan meninggalkan dzikrullah. Umar bin Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa yang banyak bicaranya, maka akan banyak salahnya. Barangsiapa yang banyak salahnya maka akan banyak dosanya”.[27] Maka banyak dosa akan mengeraskan hati, sehingga ia tidak bisa lagi mengingat Allah. Allah berfirman:
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Az-Zumar:22)

Ø   Menghadapi murka Allah, karena ia telah melanggar batasan-batasan Allah, sehingga ia layak mendapat murka Allah. Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه
“Ingatlah, setiap raja itu memiliki batasan (yang dilarang), dan larangan-larangan Allah itu adalah yang diharamkan-Nya”.[28]

Ø   Azab yang dahsyat, terlebih lagi azab kubur yang menanti sang peng-ghibah. Diriwayatkan ketika Rasulullah  صلى الله عليه وسلمmelewati dua kuburan, beliau bersabda:
إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أما أحدهما فكان يمشي بالنميمة
“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang diadzab. Keduanya tidaklah diadzab karena perkara yang besar. Adapun salah satunya, dia senantiasa mengadu domba”.[29]

Telah diriwayatkan secara shahih hadits Anas bin Malik, Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
“Ketika di bawah ke langit dalam peristiwa isra’ mi’raj, aku melewati suatu kaum yang kuku mereka dari tembaga. Mereka mencakar-cakar wajah dan dada dengannya. Aku pun berrtanya, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Dia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia (ghibah) dan mencemarkan kehormatan mereka’”.[30]

Ø   Tidak mampu melaksanakan aneka kewajiban. Hal ini terjadi karena pengumpat telah menghabiskan kekuatannya untuk ‘menglahap daging’ manusia. Jika kekuatan manusia bercerai berai maka ia tidak berdaya melakukan kewajibannnya. Barangkali inilah rahasianya Islam mengajak manusia untuk sabar dan menahan amarah. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 153)

Ø   Pengecut, karena ghibah hanya dilakukan oleh orang-orang pengecut saja yang beraninya hanya dibelakang. Sedangkan Islam melarang dari sifat pengecut. Diriwayatkan bahwa Rasulullah  صلى الله عليه وسلمmembaca do’a diakhir shalatnya dengan do’a berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ …
“Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, dst…”.[31]

Adapun dampak ghibah terhadap aktivitas dakwah, diantaranya:
Ø   Perpecahan, karena ghibah mengantarkan manusia kepada perkataan yang sia-sia yang menimbulkan kebohongan. Kebohongan yang menimbulkan permusuhan. Kemudian terjadilah saling menyerang dan menjegal sehingga terjadilah perpecahan.
Boleh jadi inilah maksud perkataan Sahl bin Abdullah, “Barangsiapa yang ingin selamat dari ghibah, maka tutuplah pintu prasangka pada diri. Barangsiapa ingin selamat dari prasangka, maka selamatlah ia dari tajassus. Barangsiapa yang selamat dari tajassus maka selamatlah dia dari ghibah. Barangsiapa yang selamat dari ghibah maka ia selamatlah dia dari tuduhan palsu. Barangsiapa yang selamat dari tuduhan palsu maka selamatlah dia dari kebohongan”.[32]
Ø   Membuka jalan generasi dan kaum awam agar terjerumus ke dalam ghibah. Karena begitu banyak orang-orang kemudian yang mencela orang-orang terdahulu karena mereka telah tersesat dengan sebab pendahulu mereka yang kufur. Allah berfirman menceritakan penghuni neraka:

“Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), Dia mengutuk kawannya (menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: "Ya Tuhan Kami, mereka telah menyesatkan Kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka". Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak Mengetahui". (QS. Al-A’raf: 38)

Obat Penyakit Ghibah
Tidak ada suatu penyakit apapun melainkan pasti ada obatnya. Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda: إِنَّ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً “Sesungguhnya setiap penyakit ada obatnya”.[33] Diantara obat ghibah adalah:
a.              Bertaqwa kepada Allah dan senantiasa muraqabatullah. Barangkali inilah obat yang ditampilkan pada ujung ayat yang mengharamkan ghibah. Firman Allah:

“ Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujurat: 12)

b.             Memperhitungkan bahwa setiap perkataan yang dilontarkannya akan ditulis dan dihisab kelak pada hari kiamat. Allah berfirman:  
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf: 18)

c.              Memeriksa dan meneliti setiap kabar yang datang. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)

d.             Mengajak orang-orang yang menjadi panutan agar berakhlak baik. Karena tingkah laku mereka akan ditiru oleh orang lain.
e.              Wajib menanyakan pekerjaan yang menyimpang secara lahiriyah. Diriwayatkan dari Buraidah, ia bercerita:
يوم الفتح خمس صلوات بوضوء واحد ومسح على خفيه فقال له عمر إني رأيتك صنعت اليوم شيئا لم تكن تصنعه قال عمدا صنعته
“Pada saat penaklukan Makkah, Nabi mengerjakan beberapa shalat dengan satu kali wudhu  dan satu kali mengusap khufnya. Umar berkata, “Hari ini engkau telah melakukan sesuatu hal yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya”. Beliau bersabda, “Aku melakukannya dengan sengaja””.[34]

f.              Umat melakukan kewajibannya kepada kaum pengumpat, yaitu dengan cara tidak mendengarkan umpatannya, membantahnya, menasehatinya. Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka baginya pahala. Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda:
من رد عن عرض أخيه رد الله عن وجهه النار يوم القيامة
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menghindarkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat”.[35]

g.             Senantiasa mengingatkan kaum Muslimin tentang bahayanya ghibah di dunia dan akhirat. Karena manusia itu sering lupa. Maka obat lupa adalah senantiasa mengingatkannya. Alah berfirman:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz-Dzariyat: 55)






BAB III
PENUTUP

Ghibah ialah menyebut-nyebut keadaan orang lain dibelakangnya yang jika orang yang diceritakan itu mengetahuinya maka ia tidak disukainya. Jika yang disebutkan tersebut terdapat padanya maka itulah ghibah, jika tidak maka ia telah berdusta. Ghibah merupakan Al-Kabair (dosa besar) yang wajib dijauhi oleh seorang muslim. Telah sepakat kaum Muslimin tentang keharamannya.
Telah dipaparkan penyebab-penyebab terjadinnya ghibah secara terang. Dari paparan tersebut dapat penulis simpulkan bahwa penyebab intinya ialah kurangnya muraqatullah.
Adapun obatnya juga telah penulis paparkan sebelumnya. Walhashil, pada intinya obat yang mencakup semuanya itu adalah bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Dalilnya adalah ketika Allah melarang dari perbuatan su-uzhan, ghibah, dan tajassus, maka Dia memberikan obatnya pada akhir ayat tersebut, yaitu firman-Nya;
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujurat: 12)

سبحانك اللهم وبحمدك, أشهد أن لا إله إلا أنت, واستغفرك و أتوب إليك, اللهم صلى و سلم على نبينا محمد و على آله وأصحابه أجمعين, و آخر دعوىنا أن الحمد لله رب العالمين.


[1] Shahih: HR. Ibnu Majah (3970), At-Tirmidzi (2314), As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir (1973), ini lafazhnya. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2499), lihat juga Silisilah Ahadits Ash-Shahihah (888).
[2] Shahih: HR. Al-Bukhari (5559), Muslim (47), Abu Dawud (5154), At-Tirmidzi (2500), ia berkata, “Hadits ini shahih”. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi (2630), Al-Irwa’ (2525). Dari Abu Hurairah.
[3] Shahih: HR. Ahmad (9694), At-Tirmidzi (2004), ia berkata, “Hadits ini shahih gharib”. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At-Tirmidzi (V/4/2004).
[4] Ibrahim Musthafa, Mu’jam Al-Wasith. (II/667). Cet. Dar Ad-Da’wah.
[5] Al-Jurjani, Ta’rifat. (I/52). Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisan AL-Arab. Beirut: Dar Ash-Shadir. Cet. 1414 H. (I/656).
[6] Shahih: HR. Muslim (2589), Abu Dawud (4874), At-Tirmidzi (1934), Ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud (4874)dan Shahih wa Dha’if At-Tirmidzi (1934).
[7] Muhammad bin Jarir Ath-Thabari.  Jami’ Al-Bayan fi At-Ta’wil Al-Qur’an. Tahqiq: Ahmad Muhammad Asy-Syakir. (XX/308). Cet. Mu’assasah Ar-Risalah.
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim. Tahqiq: Abu Amr Nashir bin Ahmad bin An-Najjar Ad-Dimyathi. (IV/256). Cet. Dar Al-‘Aqidah.
[9] Telah ditakhrij sebelumnya.
[10] Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. cit. dengan sedikit perubahan redaksi.
[11] Ibnu Katsir. Op. cit,
[12] Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1871).
[13] Shahih: HR. Ahmad (III/224), Abu Dawud (4878), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah (432).
[14] Shahih: HR. Ahmad (VI/412/27368), Muslim (1480), Abu Dawud (2284), At-Tirmidzi (1134), An-Nasa’i (3245),  Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Syaikhan”, dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ (1804),
[15] Shahih: HR. Muslim (49), Ibnu Majah (4013), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, (II/283/2302)
[16] Lihat pada poin ke-2.
[17] Sayyid Muhammad Nuh. Afat ala Ath-Thariq. 1418 H. cet. Dar Al-Wafa’. hlm. 57.
[18] Shahih: HR. Al-Bukhari (5651),  At-Tirmidzi (2020), Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1327), dan Shahih Targhib wa Tarhib (2749).
[19] Ibnu Rajab Al-Hanbali. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. (II/17), lihat juga Fath Al-Bari (XX/638).
[20] HR. Ibnu Majah (3834), At-Tirmidzi (2140), ia berkata, “hadits hasan”. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if fi Sunan Ibni Majah (3834). Dari Sahabat Anas bin Malik.
[21] Shahih: HR. Muslim (2559, 2563, 2564).
[22] Shahih: HR. Muslim (91), At-Tirmidzi (1999), ia berkata, “Hadits hasan shahih gharib”.  Disehahihkan oleh AL-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah (1626),  Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (13632). Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud.
[23] Shahih: HR. Ibnu Majah (3970), At-Tirmidzi (2314), Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir (1973), ini lafazhnya. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2499), lihat juga Silisilah Ahadits Ash-Shahihah (888).
[24] Sayyid Muhammad Nuh. Op. cit. hlm. 59-67.
[25] Shahih: HR. Al-Bukhari (6229), Muslim (2121), Abu Dawud (4815).
[26] Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-‘Utsaimin, Syarh Rayadh Ash-Shalihin. (Riyadh: Dar Al-Wathn). II/442. Cet. 1426 H.
[27] Ahmad Muhammad An-Na’an. Tazkiyah an-Nufus. Beirut: Dar Al-Qalam. hlm. 38.
[28] Shahih: HR. Al-Bukhari (50), Muslim (107), Ahmad (18374, 18385), Ibnu Majah (3984), Ibnu Hibban (5660), At-Tirmidzi (1205).
[29] Shahih: HR. Al-Bukhari (1289), Muslim (111), ini  lafazhnya, Abu Dawud (20), Ibnu Majah (347), At-Tirmidzi (70), Ibnu Hibban (3193), At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”. Al-Albani menshahihkannya. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (157).
[30] Shahih: HR. Ahmad (III/224), Abu Dawud (4878), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah (432).
[31] Shahih: HR. Al-Bukhari (5888), An-Nasa’i (5445), At-Tirmidzi (3820), Ibnu Hibban (1010), Ibnu Khuzaimah (723).
[32] Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Iman. (XIV/306/6516).
[33] HR. Ibnu Hibban (6063), dishahihkan Al-Albani. Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya berdasarkan syarat Muslim”. Lihat Shahih Ibni Hibban (XIII/ 428).
[34] Shahih HR. Muslim (277), Abu Dawud (172).
[35] HR. At-Tirmidzi (1931), ia berkata “Hadits hasan”. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir (11208), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (6263).