Selasa, 28 November 2017

KRITIK JOHN LOCKE ATAS ALIRAN RASIONALISME DAN EMPIRISME


Kritisisme Immanuel Kant (1724-1804)
            Abad ke-18 di Jerman biasa disebut Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment. Pemberian nama ini dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig (dalam bahasa Jerman disebut Unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya, yaitu rasio. Oleh karenanya semboyan Aufklarung menjadi Sapere Aude! Hendaklah anda berani berpikir sendiri! Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah di mulai sejak Renaissance dan Reformasi.
            Di Inggris  pada zaman itu muncul deisme, yaitu suatu pendirian pemikir-pemikir yang sungguh pun menerima adanya Allah, akan tetapi beranggapan bahwa Allah tidak menghiraukan penyelenggaraan dunia. Tokoh zaman pencerahan di sini antara Hume yang telah disinggung di atas.
            Di Prancis muncul para ensiklopedis, materialis serta tokoh-tokoh seperti, Voltaire (1641-1778), Charles De Montesque (1689-1775) dan Jean Jaqcues Rousseau (1712-1778) yang amat terkenal dengan teori kontrak sosialnya (buku-bukunya terbit tahun 1762).
            Di Jerman seorang filsuf besar yang melebihi zaman Aufklarung telah lahir, itulah Immanuel Kant yang akan kita bicarakan secara khusus dalam buku ini.
Kritisisme dan Ciri-cirinya
            Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena ituf, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Yayasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
·         Apa yang dapat saya ketahui?
·         Apa yang harus saya lakukan?
·         Apa yang boleh saya harapkan?
Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.      Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.      Menegaskan keterbatasan kemampuan manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja;
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

Sebelum kita memasuki pembahasan kritisisme lebih jauh, kiranya akan berguna bila terlebih dahulu berkenalan dengan latar belakang tokohnya.
Riwayat Hidup
            Immanuel Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur, Jerman Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya sangat penting dan membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern. Ia terpengaruh oleh lahiran Piettisme dari ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman Scepticism serta membaca karangan-karangan Voltaire dan Hume. Akibta dari itu semua ialah bahwa ia mempunyai problema: what can we know? (apa yang dapat kita ketahui?) what is nature and what are the limits of human knowledge? (apakah alam ini dan apakah batas-batas pengetahuan manusia itu?) sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical prosess of thought (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan the reality of things (realitas segala yang wujud).
            Kehidupannya sebagai filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zama pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi, karena terpengaruh oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada, zaman kritisnya, Kant merubah wajah filsafatinya secara radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus mempertanggungkannya dengan dogmatisnya.
            Karyanya yang terkenal dan menampakkan kritisismenya, ialah Kritik der Reinen Vernunft Reason dan Critique of Pure Reason yang membicarakan tentang Reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun. Buku ini amat terkenal di dunia filsafat. Dalam literatur bahasa Indonesia biasanya disebut “kritik atas rasio praktis”. Buku kedua adalah Kritik der Practischen Vermunft (1781) atau biasa disebut Critique of Practical Reason alias kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya. Ketiga, buku Kritik der Arteilskraft (1790) atau Critique of Judgement alias kritik atas daya pertimbangan.
Tujuan filsafat Hant
            Melalui filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tahap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisime yang radikal. Nah, Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.
            Kebenaran Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah:
a)      Bersifat umum dan mutlak, dan
b)      Memberi pengetahuan yang baru
Kritik Atas Rasio Murni
            Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan insur a priori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti misalnya “ide-ide bawaan” ala Descartes). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (seperti Locke yang menganggap rasio sebagai “lembaran putih” –as a white paper-). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
            Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan konsekuen, maupun ia tidak dapat menyetujuinya skeptisisme yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup sesudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar. Hukum-hukum ilmu pengetahuan berlaku selalu dan d mana-mana, misalnya air mendidih dalam 100°C, selalu begitu dan begitu dan begitulah di mana-mana. Yang menjadi soal adalah, bagaimana hal itu mungkin terjadi? Syarat-syarat manakah yang harus terpenuhi untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam dapat menghasilkan pengetahuan yang begitu mutlak dan perlu pasti? Untuk menjawab pertanyaaan-pertanyaan itu, Kant mengadakan suatu revolusi filsafat. Ia berkata bahwa ia mau mengusahakan suatu “Revolusi Kopernikan”, berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang menjadikan Coeprnicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan yang berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri kepada subjek. Sebagaimana Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikian pun Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan objek.
Pada Taraf Indera
            Di atas sudah dikatakan bahwa pengenalan merupakan sistesa antara unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk, dan unsur apoeterori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada indera. Ia berpendapat bahwa pengetahuan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya” (ruangan sincli). Dan waktu bukan merupakan suatu arus tertap, dimana penginderaan-penginderaan bisa diciptakan. Keduanya merupakan bentuk apriori sensibilitas. Atau dengan lain perkataan, kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri.
            Pendirian tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang penting. Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek, Kant berkata: memang ada das Ding an Sich (benda dalam dirinya; the things itself). Tetapi, das Ding an Sich selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala (Erscheinungen), yang selalu merupakan sinentesa atara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu.
Pada Taraf Akal Budi
            Kant membedakan akal budi Verstand dengan Vernunft. Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan lain perkataan, akal budi menciptakan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan istilah “kategori”.
            Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang  terpenting dapat disebut di sini hanya dua kategori saja, yaitu substansi dan kausalitas. Jika kita umpamakan membentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka sahnya putusan itu tidak berlangsung berasal dari realitas, melainkan kita harus memikirkan hubungan antara data A dan data B berdasarkan kategori  kausalitas (sebab-akibat). Maksud Kant kiranya dapat diterangkan sedikit dengan perumpamaan berikut: jika seorang tertentu memakai kacamata yang kacanya berwarna merah, maka  ia melihat segala benda berwarna merah. Tentu itu tidak berarti bahwa benda-benda itu sendiri berwarna merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana pengalaman dilakukan (jalan pengenalan yang ditempuh), memuat suatu faktor (kacamata berwarna merah) yang karenanya (karena faktor itu) ia terpaksa hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah. Nah, demikian halnya dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori lainnya. Dengan demikian, Kant sudah menjelaskan sahihnya ilmu pengetahuan alam. Sekarang kita mengerti juga bahwa Kant betul-betul mengadakan suatu revolusi Kopernikan.

Pada Taraf Rasio
            Tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan, demikian rasio menggabungkan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide: jiwa, dunia dan Allah. Apa yang dimaksud ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide-ide tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketika ide sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya, metafisika merupakan membuktikan bahwa Allah adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia. Uraian yang panjang lembar dikemukakan oleh Kant untuk memperlihatkan kepada kita bahwa bukti-bukti untuk adanya Allah yang diberikan dalam filsafat bersifat kontradiktoris.
            Perlu dicatat bahwa bagian terpenting dari buku Kant, critique on Pure Reason adalah filsafat Kant tentang Trancendental Aeshethic yang merupakan Trancendental Philosophy, di sini artinya apriori. Trancendental aesthethic ini membicarakan ruang dan waktu. Bagian kedua dari Trancendental aesthethic ini adalah bagian trancendental analytic (tahli liy) dan trancendental dialectic (jadaly). Yang terpenting dapat membuktikan keterbatasan kemampuan rasio manusia ialah trancendental logic bagian kedua, yaitu trancendental dialectic yang dinamakin antinomy of pure reason yang berjumlah empat dan terdiri dari masing-masing tesis dan antitesis yang dalam bahasa Arab dipakai istilah tana qudat al-aql al-kha lis.

Kritik Atas Rasio Praktis
            Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri rasio murni. Akan tetapi, disamping rasio murni terdapat apa yang harus disebut rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan  apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis  memberikan perintah mutlak yang disebutnya sebagai imoeratif kategori. Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan orang lain, maka kita harus mengembalikan kepada pemiliknya. Atau bisa juga berupa pernyataan negatif berupa larangan, seperti jangan membunuh orang yang tidak bersalah. Kant kemudian bertanya, “Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu?” prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah, kalau kita harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil,  jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut.  Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah:
1.      Kebebasan kehendak;
2.      Immoralitas jiwa,dan
3.      Adanya Allah

Jadi apa yang tidak dapat di temui atas dasar rasio teoritis harus di andaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan berkehendak immoralitas jiwa dan adanya Allah kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan sebagai globe alias kepercayaan. Maka dari sinilah kita bisa melihat kan sebagai filsuf yang mengulik filsafat untuk mempengaruhi keimanan; keimanan kristianinya. Coba bandingkan dengan filsof  Islam seperti Ibnu Rusyd yang berupaya menjadikan filsafat sebagai alat penguat keimanan sebagaimana yang tampak dari dalam kitab nya Fasl al-Maqa’l Fi masyarakat bayn al-Hikmat wa al-Shari’at min al-ittisal!
Kritik Atas Daya Pertimbangan


            Pada bagian ini kita bisa menganalisis “kritik ketiga” dari Kant. Dalam kesempatan ini kiranya cukuplah disebutkan problem-problem yang dibentangkan dalam karyanya, Critique of Judgement. Sebagai konsekuensi dari “kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktis” adalah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu: lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud Kritik  der Urteilkraft ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bisa bersifat subjektif, manusia  mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi di dalam pengalaman estetis (seni). Pengalaman estetis itu diselidiki dalam bagian pertama bukunya, yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteilskhraft. Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu kritik der Theologischen Unteilskraft.

EMPIRISME

  Empirisme
            Empirisme, bahasa ini berasal dari kata Yunani, emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Oleh sebab itu, empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan yang dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Masalah yang ramai dibicarakan, baik oleh rasionalisme di daratan Eropa dan empirisme di Inggris, adalah substansi. Tokoh empirisme yang lebih kita tekankan pengkajiannya adalah Thomas Hobbes.
Thommas Hobbes (1588-1679)
            Tokoh ini dilahirkan sebelum waktunya ketika ibunya tercekam rasa takut oleh ancaman penyerbuan armada Spanyol ke Inggris. Ia belajar di Universitas Oxford, kemudian menjadi pengajar pada suatu keluarga yang terpandang. Hubungan dengan keluarga tersebut memberi kesempatan kepadanya untuk membaca buku-buku, bepergian ke negeri asing dan berjumpa dengan tokoh-tokoh penting. Simpatinya pada sistem kerajaan mendorongnya untuk lari ke Prancis pada waktu Inggris dilanda perang saudara. Di sanalah ia mengenal filsafat Descartes dan pemikir-pemikir Prancis lainnya. Karena sangat terkesan dengan ketepatan sains, ia berusaha menciptakan filsafat atas dasar matematika.
            Hobbes menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada pemikirannya tentang manusia dan kehidupan mental. Hal ini mendorongnya untuk menerima, materialisme, mekanisme, dan determinisme. Karya utamanya dalam filsafat adalah Leviathan (1651), mengekspresikan pandangannya tentang hubungan antara alam, manusia dan masyarakat. Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika mereka hidup di dalam keadaan yang dinamakan of nature (keadaan ilmiah) yang merupakan kondisi manusia sebelum dicetuskannya suatu negara atau masyarakat beradab. Kehidupan dalam masa ilmiah adalah buas dan singkat, karena merupakan perjuangan dan peperangan yang terus menerus. Oleh karena manusia menginginkan kelangsungan hidup dan kedamaian, ia mengalihkan kemauan negara dalam suatu kontrak sosial yang membenarkan kekuasaan tertinggi yang mutlak.
            Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan awal mula segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain daripada semacam perhitungan, yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara berlainan. Tentang dunia dan manusia,  ia dapat dikatakan  sebagai penganut materialistik. Karena itu ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda dengan Francis Bacon yang meletakkan eksperimen-eksperimen sebagai metode penelitian, Hobbes memandangnya sebagai doktrin.
            Hobbes juga tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani. Menurut Hobbes seluruh dunia, termasuk juga manusia, merupaka suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja. Adapun bagian ajaran Hobbes yang termasyhur adalah pendapatnya tentang filsafat politik. Ia mengingkari bahwa manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya kecondongan kodrati manusia ialah mempertahankan adanya. Hal tersebut mengakibatkan suatu egoisme radikal; homo homonis lupus (manusia adalah manusia bagi manusia). Tetapi, dalam keadaan demikian, manusia justru tidak mampu mempertahankan adanya. Itulah sebabnya manusia mengadakan perjanjian, yaitu bahwa mereka akan takluk kepada suatu kewibawaan. Dengan demikian, negara pun timbul. Tetapi setelah negara itu timbul, perjanjian itu tidak lagi dicabut, sehingga dengan demikian negara mempunyai kekuasaan yang absolut terhadap warga negara.
Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang ‘yang ada” secara mekanis. Dengan demikian ia merupakan seorang materialis di bidang ajaran tentang antropologi, serta seorang absolut di bidang ajaran tentang negara.
Filsafat Materialisme
            Materialisme yang dianut Hobbes dapat dijelaskan sebagai berikut: segala sesuatu yang ada bersifat bendawi. Yang dimaksud bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan kita. Doktrin atau ajarannya menyatakan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena kaharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi, yaitu yang tidak bergantung kepada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Dengan demikian, maka pengertian substansi diubah menjadi sebuah teori aktualitas. Segala objektivitas di dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang gerak. Berdasarkan pandangannya itulah ia melahirkan filsafatnya tentang manusia.
Manusia
            Manusia tidak lebih daripada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, maka segala sesuatu yang terjadi pada kejadian-kejadian alamiah, yaitu secara mekanis. Manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnya bekerja, yang disebabkan karena pengaruh mekanis dari hawa atmosfir. Dengan demikian, manusia yang hidup tiada lain adalah gerak anggota-anggota tubuhnya. (tentu saja pendapat seperti ini jika dibandingkan dengan Islam amat bertentangan, karena manusia itu walaupun secara fisik [mekanis] yang mati namun jiwanya tetap hidup. Bahkan bagi seorang mukmin kematian adalah kelanjutan hidup yang kekal dan abadi!!)
Jiwa
            Ajaran Hobbes tentang jiwa itupun sejalan dengan ajaean filsafat dasar, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan. Ikhtiar adalah suatu awal gerak yang kecil. Awal gerak nan kecil ini kalau diarahkan untuk menuju kepada sesuatu disebut dengan keinginan yang sama dengan kasih; jika diarahkan untuk meninggalkan sesuatu disebut keengganan atau keseganan yang sama dengan keinginan dan keengganan, tetapi hal yang sama dengan itu. Namun demikian, yang terkuat adalah jikalau terjadi bentrokan-bentrokan. Oleh karena itu, Hobbes merupakan orang yang tidak mengakui kehendak bebas.
Teori Pengenalan
            Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengalaman –sebagai Hobbes--diperoleh kerana pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
            Berbeda dengan kaum rasionalisme, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Kerena pengalaman dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengna akal mulai dengan kata-kata (pengertian-pengertian) yang hanya mewujudkan tanda-tanda yang menurut adat saja, dan yang menjadikan ruh manusia dapat memiliki gambaran dari hal-hal yang diucapkan dengan kata-kata. Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu nama-nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama-nama bendanya. Nama-nama itu tidaklah mempunyai nilai objektif. Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan antara dua nama, sedangkan sillogisme adalah suatu soal hitung, di mana orang bekerja dengan tiga nama.
            Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
            Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak dan dari otak ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi, suatu gerak dalam  jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
            Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek-objek, yang sesuai dengan penginderaan kita, bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengan, bukan berada dalam gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran murni yang bersifat mekanis.
            Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes tampak sekali sebagai penganut nominalisme, di mana ia menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang universal, kecuali nama belaka. Konsekuensi pendapat ini ialah bahwa ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan “benar” atau “tidak benar” itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam bentuk pikiran orang.
John Locke (1632-1704)
            Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui ajarannya. Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke, pengalaman ada dua : pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas). Ruh manusia bersifat sama sekali pasif dalam menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, ruh mempunyai aktivitas juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai satu bangunan, ruh manusiawi dapat membentuk ide majemuk (complex idea), misalnya idea substansi. Locke kemudian menyatakan bahwa dalam dunia luar memang ada substansi, tetapi tidak hanya mengenal ciri-cirinya saja.
Pandangan Locke mengenai lembaran putih manusia mirip sekali dengan teori fitrah dalam filsafat Islam yang berdasarkan atas pernyataan Al-Qur’an, surah ke-30 al-Rum ayat ke-30. Fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir yang di dalamnya terkandung tiga potensi denga fungsinya masing-masing. Pertama, potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenal Tuhan, mengesakan Tuhan, dan mencintai-Nya. Kedua, potensi syahwat yang berfungsi  untuk menginduksi objek-objek yang menerangkan. Ketiga, potensi gadlab yang berfungsi menghindari segala yang membahayakan. Ketika manusia dilahirkan, ketiga potensi ini telah dimilikinya. Namun demikian, agar potensi-potensi tersebut beraktualisasi perlu ada bantuan dari luar dirinya. Dalam filsafat Islam, kedua orang tua anak yang terlahir itulah yang pertama-tama berkewajiban memberikan pengetahuan untuk mengaktualisasi potensi-potensi tersebut. Dengan lain kata, orang tualah yang menggoreskan tulisan di atas lembaran putih si anak yang terlahir itu.
George Berkeley (1665-1753)
            Berkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi Uskup Anglikan di Cloyne (Irlandia). Sebagai penganut empirismem Berkeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Jika Locke masih menerima substansi-substansi di luar kita, maka Berkeley berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material, yang ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja. Esse estpercipi (being is being perceived), yang artinya, dalam dunia material sama saja dengan ide-ide yang saya alami. Sebagaimana dalam bioskop, gambar-gambar film pada layar putih dilihat para penonton sebagai benda-benda yang rill dan hidup. Demikian pula, menurut pemikiran Berkeley, ide-ide membuat saya melihat suatu dunia material. Dan bagaimana saya sendiri? Berkeley mengakui bahwa aku merupakan suatu substansi ruhani. Ia juga mengakui adanya Allah, sebab Allah lah yang merupakan asal usul ide-ide yang saya lihat. Jika kita mengatakan bahwa Allah menciptakan dunia, yang kita maksud adalah bukan berarti ada suatu dunia di luar kita, melainkan bahwa Allah memberi petunjuk atau mempertunjukkan ide-ide kepada kita. Jika kita memahami perbandingan wujud ini dengan film seperti di atas tadi, maka boleh kita teruskan bahwasanya Allah-lah yang memutar film itu di dalam batin kita.
David Hume (1711-1776)
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada David Hume ini, sebab ini merupakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal. Terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab-akibat) menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya, putih, licin, erat, dan sebagainya). Tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa dibelakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya, sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume nampak lebih konsekuen daripada Berkeley.

RASIONALISME RENE DESCARTES

1.      Rasionalisme Rene Descartes ( 1595-1650)
Aliran filsafat yang berasal dari DESCARTES biasanya disebut rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya di warisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua, masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.
Rene Descartes adalah tokoh filsafat abad modern,  bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya. Ada perbedaan penting antara filsafat abad pertengahan dan abad modern. Perbedaan tersebut bukanlah dilihat dari segi dikotomi mundur dan maju seperti halnya pada dunia ilmu pengetahuan. Perbedaan keduanya lebih sering dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing. Filsafat abad pertengahan bercirikan sinkretasi antara wahyu dan akal, antara rasio dengan agama, dengan kecendrungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap wahyu dan eksistensi Tuhan melalui argumen-argumen filosofis. Ingat, credo ut intelligem yang introdusir oleh Anselem dkk. Perhatian filsafat melulu dicurahkan pada hal-hal yang bersifat abstrak, sedangkan hal-hal yang konkret dan tampak pada umumnya di abaikan. Adapun ciri filsafat modern adalah perhatian yang antusias terhadap hal-hal yang konkret, seperti alam semesta, manusia, hidup bermasyarakat dan sejarah. Dengan kata lain segala segi dari kenyataan yang nampak dijadikan sasaran penyelidikan.

a.      Riwayat Hidup dan Karya Descartes
Rene Descartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempat Jaochim Descartes, seorang anggota perlemen kota Britari, propinsi Renatus di Prancis. Kakeknya, Piere Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakang kedokteran. Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (Sekarang di sebut La Haye Descartes), propinsi Teuraine, Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rene, tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filasafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan si filsafat cilik.
Disinilah dia memperoleh  pengetahuan tentang dasar karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, musik dan akting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Konon selama belajar di sini dia sudah merasakan kebingungan dan ketidakpuasan terhadap apa yang didapat dari gurunya dan dari buku yang dibacanya mengenai filsafat yang penuh kesimpangsiuran dan pertentangan-pertentangan antara berbagai aliran dan pemikiran.
Pada tahun 1612, Rene Descartes pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint German untuk mengerjakan ilmu ukur. Pada tahun 1617 ia bergabung dengan tentara Belanda. Selama dua tahun ia mengalami suasana damai dan tenteram di negeri Kincir Angin ini, sehingga ia dapat mengerjakan renungan filsafatinya. Tahun 1619 Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Dan selama musim dingin antara 1619-1620, di kota ini ia mempunyai pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam buku pertamanya, Descours de la Methode, salah satu pengalamannya yang unik adalah tentang mimpi yang dialaminya sebanyak tiga kali dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagaian penulis bagaikan ilham dari Tuhan.
Tahun 1621 Descartes berhenti dari medang peran dan setelah berkelana ke Italia, ia lalu menetap ke Paris (1925). Tiga tahun kemudian, ia kembali masuk tentara, tetapi tidak lama ia keluar lagi dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup di negeri Belanda. Di sinilah ia menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim kebebasan berpikir. Di negeri inilah ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat.
Ada sementara penulis yang menyatakan bahwa Descartes adalah seorang penganut Katolik yang jujur, sehingga sekalipun ia penganut “Bid’ah” Galileo dan Copernicus tentang perputaran bumi dan infanitas alam semesta, namun bukunya yang berjudul Le Monde (jagat) yang memuat kedua teori itu, tidak ia terbitkan demi menjaga kewibawaan Gereja Katolik. Dalam kaitan inilah kiranya Serangan-serangan terhadap ajaran Descartes bukan berasal dari Katolik yang ortodok, melainkan justru orang-orang Protestan. Mereka menganggap ajaran-ajaran Descartes membawa pada Atheisme sehingga hampir saja ia dihukum sekiranya bukan bantuan duta besar Prancis dan Pangeran Orange dari Belanda. Ketika penguasa Universitas Leiden dan Utrecht mengkritiknya habis-habisan dan melarang karya-karyanya digunakan di kalangan universitas tersebut, maka lagi-lagi Pangeran Orange turun tangan membantunya.

Filsafat Descartes
METODE
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita terutama memerlukan suatu metode yang baik, demikian pendapat Descartes. Hal ini mengingat bahwa terjadinya kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam pemikiran-pemikiran filsafat disebabkan oleh karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia sendiri berpikir sudah mendapatkan metode yang dicarinya itu, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya atau keraguan-keraguan. Ia bermaksud bahwa kesangsian-kesangsian dan keraguan-keraguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang saya miliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini saya anggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia meterial; bahwa saya mempunyai tubuh; bahwa Allah ada). Kalau suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itu kebenaran yang sama sekali pasti akan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan. Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan, ada. Cagito ergo sum yang berasal dari kata latin ini berarti, saya berpikir disini adalah menyadari. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern kata Cogito ergo sum itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa besar pun usahaku. Mengapa kebenaran ini benar-benar bersifat pasti? Karena saya mengerti ilmu itu dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus di terima dengan benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.
Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) dari metode yang hendak dicanangkannya dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
PERTAMA. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and distinctly), sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
KEDUA, pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal yang sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna dan pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjajahan itu.         
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filosofinya. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Saya dapat meragukan, demikian menurut Descartes, bahwa saya sedang disini, di dekat perapian, dalam pakaian lengkap, karena kadang-kadang saya bermimpi dalam keadaan demikian, padahal waktu itu saya sedang tergeletak di tempat tidur dengan telanjang bulat (saat itu barangkali belum di temukan piyama ataupun pakaian tidur!). selanjutnya, jika seseorang gila kadangkala berhalusinasi, maka siapakah yang menjamin bahwa keadaanku sekarang tidak seperti keadaan orang gila tadi?
Tentang impian itu dijelaskan lebih lanjut oleh descartes yang dilukiskan sebagai pelukis yang memberikan kepada kita turunan barang-barang dari dunia kenyataan, setidak-tidaknya dalam berbagai elemennya. Kau bisa memikirkan seorang kuda bersayap yang sedang terbang, karena kau pernah melihat kuda dan melihat sayap secara terpisah. Sehubungan dengan ini maka perangai-perangai umum benda yang menyangkut hal-hal seperti extention (keluasan), gerak, besaran, angka, adalah lebih mudah di yakini dari hal-hal yang bersifat khusus dan individual. Ilmu ukur dan ilmu hitung memberi lebih besar kepastian jika dibandingkan dengan ilmu alam dan astronomi. Bahkan ternyata hitungan dan ukuran memberi kepastian juga dalam impian. Tetapi kendati demikian, keraguan bisa terjadi dalam kedua ilmu ini karena bisa saja Tuhan membuat saya keliru ketika saya menghitung dan mengukur. Dan andaikan bukan Tuhan yang membuat saya keliru ketika menghitung dan mengukur, maka bisa saja di sana ada setan yang licik atau jin botak yang berusaha untuk menipu dan menyesatkanku. Kalau ini benar, maka mungkin sekali bahwa segala sesuatu yang aku lihat hanyalah bayang-bayang (ilusi) dimana aku terperangkap di dalamnya. Demikian kira-kira ungkapan Descartes tersebut bila kita terjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Betapa pun radikalnya keraguan-raguan Descartes ini, namun akhirnya ia mengakui bahwa di sana ada satu hal yang tidak bisa diragukan, biar setan licik atau jin botak yang berminat menipunya. Yang dimaksudkannya ialah, bahwa “aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berpikir dan karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).” Mengingat bahwa aku berpikir ini adalah sesuatu, dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling hebat pun tidak akan mempu menumbangkanya, maka sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang kucari.
Sejenak kita mengingat filsuf Islam, al-Ghazali, yang pernah mengalami keragu-raguan (al-shakk) jauh sebelum munculnya Descartes. Bila perjalanan pemikiran filsafati Descartes berujung pada kelahiran rasionalisme yang cenderung mengabaikan Tuhan dan agama, maka perjalanan pemikiran filsafati al-Ghazali sama sekali berbeda dengan Descartes. Al-Ghazali sampai pada keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan dengan melalui jalan tasawuf yang berpuncak ma’rifat, yakni pengetahuan intuitif.
 Cogito ergo sum inilah yang di anggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primium philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran, dan untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau suatu yang bersifat bendawi. Prinsip bahwa kebenaran yang pasti adalah yang jelas dan terpilah-pilah, menurut B. William, merupakan problem sentral dan sekaligus inti filsafat Descartes.
Untuk menjamin agar apa yang ditetapkan oleh akal itu, atau rasio, benar-benar tidak salah, maka ia lari dari Tuhan. Lebih dari itu ia mengemukakan ide bawaan.
Ide-ide bawaan
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapat dipercaya, maka menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dengan mengunakan norma-norma tadi, Cogito ergo sum. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan ide bawaan (Innate Ideas). Ketiga ide sudah ada pada diri saya sejak saya lahir, yaitu pemikiran, Allah, dan keluasan.
a.       Pemikiran; sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b.      Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna ide itu, karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Allah.
c.       Keluasan; saya mengerti materi sebagai keluasan atau eksistensi (extention), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah ada dua subtansi, pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia material ialah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan diluar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa wujud yang sempurna menipu saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia material.

Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasaan. Sebenarnya tubuh tidak lain daripada mesin yang dijalankan oleh jiwa. Kerana setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, maka kiranya sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikann pengaruh tubuh atas jiwa, dan sebaliknya. Satu kali ia menyatakan bahwa kontak antara  tubuh dengan jiwa berlangsung dalam grandula pincalis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak  memadai bagi Descartes sendiri.
Pengaruh dan Kritik terhadap Descartes
Pengaruh Descartes terlalu sulit untuk ditelusuri seluk beluknya. Oleh karena hampir seluruh aliran filsafat sesudahnya mempunyai impact, setidak-tidaknya mempunyai akar kesejarahan dari pemikirannya. Problem-problem kefilsafatanlah yang menjadi dasar inspirasi atau bahkan dasar pemikiran bagi timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang datang kemudian.
Kritik terhadap filsafat Descartes adalah kecendrungannya yang sangat kuat terhadap subjektivits, oleh karena terbukti bahwa setiap orang memiliki kecendrungan. Karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda. oleh karena itu, jika pikiran melulu yang dijadikan tolak ukur kebenaran, maka kenisbianlah yang akan menjadi buahnya.
Honer dan Hunt mengkritik rasionalisme dari segi kegagalannya yang menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia selama ini. Banyak ide yang sudah dianggap pasti, namun suatu ketika, pada saat yang lain, mengalami perubahan. Contoh gamblangnya adalah teori mengenai bumi yang menyatakan bumi adalah pusat sistem matahai (pusat tata surya) yang pernah diterima secara umum sabagai suatu pernyataan yang pasti, tetapi kemudian pernyataan ini tumbang dengan sendirinya begitu datang teori baru yang lebih sahih berdasarkan penelitian empiris.
Kritikan terhadap rasionalisme sebenarnya sangat banyak terutama dari kelompok empirisme. Namun demikian, akan kelihatan nanti bahwa baik rasionalisme dan empirisme, keduanya tidak luput dari kritikan dan serangan menggebu yang dilancarkan Immanuel Kant. Semuanya menunjukkan bahwa Rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga cagito ergo sum tidak lagi dianggap titik total yang memadai.
Belakangan datang juga kritik  yang berangkat dari responden ergo sum yang dilancarkan oleh Heimann dari kalangan filsafat eksistensialisme. Prinsip ini berusaha memahami keberadaan manusia melalui dialog yang berlangsung terus-menerus antara manusia dengan dirinya dan dunia luarnya. Menusia selalu beresponsi terhadap segala gejala, aksi, dan realita yang ditemui dan dihadapinya. Namun semuanya itu belum mencapai tujuan suatu kata akhir, suatu penyelesaian. Karena, jika kita nyatakan sebagai suatu jawaban atas kata akhir, kita telah berkhianat karena membunuh kreativitas manusia yang bertabiat bergelut dan selalu mencari hakikat kebenaran.
Rasionalisme Pasca Descartes
Nicolas Malerbranche (1638-1775)
Orang Prancis ini berusaha mendamaikan filsafat baru yang dirintis Descartes dengan tradisi pemikiran Kristiani, khususnya pemikiran Augustinus. Dalam masalah substansi ia mengikuti ajaran Descartes, bahwa ada dua substansi, pemikiran dan keluasan. Akan tetapi, untuk masalah hubungan dengan jiwa ia mengikuti pemecahannya sendiri. Pendiriannya dibidang ini biasanya disebut okkasionalisme (occasio = kesempatan). Malerbranche mempertahankan dengan tegas pendapatnya bahwa jiwa tidak dapat mempengaruhi tubuh, demikian juga sebaliknya. Tetapi pada kesempatan terjadinya perubahan dalam tubuh, Allah menyebabkan perubahan yang sesuai dengannya dalam jiwa dan sebaliknya juga. Misalnya, pada kesempatan tangan saya terbakar api, maka Allah mengakibatkan rasa sakit dalam jiwa. Demikian pula jika saya mau mengulurkan tangan saya (peristiwa dalam jiwa), maka Allah menyebabkan bahwa tangan saya betul-betul di ulurkan. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam tiap-tiap kasus anggapan, Allah harus campur tangan secara khusus. Malerbranche beranggapan bahwa Allah bekerja sebagai penyebab menurut hukum-hukum tetap yang telah ditentukan satu kali untuk selamanya.
De Spinoza (1632-1677)
De Spinoza lahir di Amsterdam. Menurut Spinoza, hanya ada satu substansi, yaitu Allah. Dan satu substansi ini meliputi baik dunia maupun manusia. Itulah sebabnya Spinoza disebut panteisme, Allah disamakan dengan segala sesuatu yang ada
Gottfried Wilhelm Leibniz ( 1646-1716 M)
Orang jerman ini menuliskan karya-karyanya dalam bahasa latin dan Prancis, seorang ensiklopedis (orang yang mengetahui segala lapangan pengetahuan pada masanya0. Menurut Leibniz, substansi itu jumlahnya tiada terhingga yang kemudian ia namakan sebagai monade. Dalam suatu kalimat yang kemudian terkenal Leibniz mengatakan, “Monade-monade tidak mempunyai jendela, tempat sesuatu bisa masuk atau keluar.” Pernyataan ini berarti bahwa semuanya monade harus  dianggap tertutup seperti cogito Descartes.
Chritian Wolff (1679-1754 M)
Karena Leibniz tidak menciptakan sistem filosofis, maka Wolff manyadur filsafat Leibniz serta menyusunya menjadi satu sistem. Disamping itu, dalam penyusunan tersebut ia banyak menggunakan unsur skolastik. Karena Wolff inilah Rasionalisme di jerman pada masanya merajalela di semua universitas.
Blaise Pascal (1623-1662 M)
Filsuf ini dalam sejarah pemikiran Prancis abad ke-17 mempunyai tempat tersendiri. Sekalipun ia sepakat dengan Descartes dalam menerima ilmu pasti tersebut sebagai model atau contoh yang teristimewa untuk metode filsafar. Filsaft Descartes menjadi Rasionalisme, justru karena ia berpendapat bahwa metode filsafat harus meniru metode ilmu pasti. Berbeda dengan Descartes, Pascal memandang bahwa manusia selalu dianggap sebagai misteri yang tidak dapat diselami sampai dasarnya. Ada yang lebih penting dari rasio (raison), yaitu hati (coeur), demikian menurut Pascal. Rasio hanya menghasilkan pengetahuan yang dingin, sedangkan hati memberikan pengetahuan dimana cinta juga mempunyai peranan. Dengan rasio kita mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam,tetapi dengan hati kita mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, terutama Tuhan Allah. Dengan semboyannya berikut ini, kita dengan mudah mengingat dasar pemikiran filsafatnya, Le coeur Anaximenes ses raisons que la raison ne connait point, yang diartikan “hati-hati memiliki rasionya sendiri yang tidak dapat dipahami oleh rasio itu sendiri.”







MAKALAH NIAT OLEH RIZKI DARMAWAN


HAKIKAT NIAT
Niat secara bahasa adalah al-qashdu (maksud) dan al-iradah (keinginan). Ia bukanlah perkataan seseorang ‘nawaitu kadza wa kadza (aku niat begini dan begitu)’. Ulama telah mengatakan bahwa melafazhkan niat ketika shalat dan ibadah-ibadah lainnya merupakan suatu yang diada-adakan (Bid’ah) dalam agama. Tidak pernah dikutip seorang pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih maupun dha’if.
Pada zaman sekarang sangat banyak manusia melafazhkan niatnya, dan mereka menyandarkan perbuatan mereka itu kepada madzhab Asy-Syafi’i. perbuatan ini bermula dari terkecohnya sebagian ulama muta’akhirin dengan perkataan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ (Asy-Syafi’i) tentang shalat, “Bahwa shalat itu tidak sama dengan puasa, dan seseorang yang memasuki shalat harus dilakukan dengan dzikir.” Ibnul Qayyim berkata ketika mengomentari perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas, “Sebagian orang mengira bahwa yang dimaksud dzikir disini adalah melafalkan niat. Padahal yang dimaksud Asy-Syafi’i dengan dzikir adalah takbiratul ihram, tidak lain”.[1]
Juga telah shahih riwayat dari Ibnu Umar sesungguhnya ia mendengar seorang lelaki berkata (yakni melafazhkan niat) ketika ihramnya, “Allaahumma innii uriidu al-hajja wa al-‘umrah (Ya Allah sesungguhnya aku ingin melaksanakan haji dan umrah)”, maka Ibnu Umar berkata kepadanya, “Apakah kamu ingin memberitahu manusia? Bukankah Allah Maha Mengetahui dengan apa yang ada dalam dirimu? Niat itu adalah maksud atau keinginan hati, dan tidak wajib melafazhkan niat dalam ibadah apapun”.[2]
Diriwayatkan ketika Al-Fadhl bin Ziyad bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang niat dalam beramal, bagaimana niat itu? Beliau (Imam Ahmad) menjawab, “Hendaklah ia memeriksa dirinya ketika beramal bahwa ia tidak menginginkan manusia dengan amalnya”.[3]
                                                                                          
AMALAN TERGANTUNG PADA NIATNYA
Telah diriwayatkan dalam Ash-Shahihain[4] hadits Umar bin Al-Khaththab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya:
“Sesungguhnya setiap amalan itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya”.
Imam As-Syafi’i berkata, “Hadits ini sepertiga ilmu”. Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam terdiri dari tiga hadits, yaitu hadits Umar (hadits ini), hadits Aisyah (Barangsiaipa yang mengada-ada perkara baru dalam urusan agama kami ini, yang bukan berasal darinya, maka amalannya tertolak), dan hadits An-Nu’man bin Basyir (Sesungguhnya yang halal dan yang haram telah jelas)”.[5]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam, “Sesungguhnya setiap amalan itu (tergantung) pada niatnya” maksudnya bahwa amalan yang sesuai sunnah tidak diterima kecuali dengan baiknya niat dari pelakunya. Maka amalan itu tidak akan menjadi baik kecuali dengan  dua syarat, yaitu baiknya amal atau ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah Ta’ala berfirman:
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3ƒr& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âƒÍyèø9$# âqàÿtóø9$#  
Artinya:
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al-Mulk: 2)
Firman-Nya “Ahsanu ‘amala (yang paling baik amalannya)” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Adapun ikhlas menjadikan amalan tersebut hanya untuk Allah semata, sedangkan benar ialah sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian yang dikatakan oleh al-Fudhail bin ‘Iyad.[6] Kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala:
Artinya:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". QS. Al-Kahf: 110)

BALASAN AMAL TERGANTUNG PADA NIATNYA
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam, “Dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan apa yang ia niatkan” maksudnya seseorang itu akan mendapat balasan dari amalan yang sesuai sunnah berdasarkan niat pelakunya. Jika niatnya baik maka balasannya baik, namun jika buruk maka balasannya pun akan buruk. Allah Ta’ala berfirman:

Artinya:                                                                                                                  
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (QS. Al-Hajj:37)
  
Artinya:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hud: 15-16)
Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits Zaid bin Tsabit, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai keinginannya, maka Allah akan ceraikan urusannya dan menjadikan kefakiran diantara kedua matanya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan mengumpulkan urusannya dan menjadikan kekayaan di hatinya, serta dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina (tunduk)”.[7]
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan salah satu contoh amalan yang sama namun balasan yang berbeda dikarenakan bedanya niat dari pelakunya. Sebagaimana sabdanya, “Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya”.
Walaupun amalan tersebut tampak sama secara zhahir namun mereka mendapatkan balasan yang berbeda berdasarkan niatnya masing-masing. Karena Allah tidaklah melihat jasad dan rupa hamba, namun Dia melihat hati dan amalan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam bersabda,
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم , ولكن إنما ينظر إلى أعمالكم وقلوبكم
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad-jasad kalian, tidak pula kepada rupa-rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati dan amalan kalian”.[8]
Seseorang hamba yang tidak ikhlas dalam amalnya, maka ia tidak akan mendapatkan apapun dalam amalannya tersebut. Telah diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari hadits Abu Umamah, ia berkata, “Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Apa menurut pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mencari pahala dan agar dikenang?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Tidak ada sesuatu pun untuknya’. Kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dengan ikhlas, dan mencari dengan amalan tersebut wajah-Nya’”.[9]
Hal demIkian karena Allah adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan sekutu. Diriwayatkan dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam dia bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang beramal dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku akan meninggalkannya beserta sekutunya”.[10]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya[11] dari hadits Abi Sa’id bin Abi Fadhalah[12] berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam bersabda, “Ketika Allah mengumpulkan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian pada hari yang tidak ada keraguan padanya, kemudian diserukan, ‘Barangsiapa yang menyekutukan Allah ‘Azza wa Jalla dalam amalannya, maka carilah pahalanya dari selain Allah ‘Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya Allah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu’”.

URGENSI IKHLAS
Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab bahwa ia berkata, “Amalan yag paling afdhal adalah menunaikan apa saja yang telah Allah Ta’ala  fardhukan, bersikap wara’ dari yang haram, membenarkan niat pada apa yang ada di sisi Allah”.[13]
Yahya bin Abi Katsri berkata, “Pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu akan menyampaikan kepada amal”. Yusuf bin Asbath berkata, “Mengikhlaskan niat dari kerusakan sangat susah bagi orang yang beramal”. Mutharif bin Abdullah berkata, “Hati baik dengan baiknya amal, dan amal menjadi baik dengan baiknya niat”. Ibnu Al-Mubarak berkata, “Terkadang amalan kecil menjadi besar karena niat, dan terkadang amalan besar menjadi kecil pula karena niat”.[14]
Ibnu Al-Qayyim berkata, “Hati yang suci adalah hati yang bersih dari kesyirikan terhadap Allah dalam beragam bentuknya, bahkan ibadahnya murni hanya untuk Allah, kehendak dan cintanya hanya ditujukan kepada-Nya, dengan tawakal dan kembali hanya kepada-Nya, khasysyah dan harapannya hanya kepada-Nya, serta menjadikan semua amalannya tulus karena Allah. Ringkasnya hati yang selamat dari syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dengan segala syubhat yang menentang hadits”.[15] Beliau juga mengatakan di tempat yang lain, “Tauhid, tawakal, dan keikhlasan akan menjaganya dari setan”.[16]
Keikhlasan merupakan kekuatan yang sangat dahsyat, sebagaimana yang di jelaskan oleh Asy-Syinqithi. Beliau berkata, “Allah menjelaskan bahwa jika Dia mengetahui adanya keikhlasan pada hati-hati hamba-Nya sebagaimana seharusnya, maka diantara hasil dari keikhlasan itu adalah bahwa mereka akan mengalakan orang yang lebih kuat dari mereka, karena itulah ketika Allah mengetahui keikhlasan pada diri sahabat yang ikut Baiat Ar-Ridwan, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya,

Artinya:
“Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka”. (QS. Al-Fath: 18)
Maka Dia menjelaskan bahwa diantara buah dari keikhlasan adalah bahwa Allah menjadikan mereka sanggup mengalahkan orang yang sebelumnya menguasai mereka, hal ini sebagaimana dalam firman-Nya,
Artinya:
“Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya”. (QS. Al-Fath: 21)
Allah menegaskan bahwa mereka tidak dapat mengalahkannya, dan Allah menguasainya, lalu Allah menjadikannya harta rampasan perang bagi mereka ketika Dia mengetahui keikhlasan mereka”.[17]
Fawwaz bin Hulayyil As-Suhaimi berkata, “Setiap dakwah yang berpegang teguh bukan pada keikhlasan, baik karena sum’ah, riya’, syuhrah,[18] atau karena mengharapkan kedudukan, karena kebutuhan politik dunia, atau karena mengharapkan gemerlapnya dunia, maka juru dakwah yang demikian tentu tidak akan berhasil dan perkaranya akan gagal”.[19]

JADIKANLAH SEMUA AKTIFITAS SEBAGAI IBADAH
Hendaklah seorang hamba memerhatikan semua tingkah laku yang muncul dari dirinya, baik itu perkataan, perbuatan ataupun keinginan, agar menjadikannya sebagai ibadah. Wahai hamba Allah, letakkanlah selalu ayat berikut ini di depan matamu:
  
Artinya:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al-An’am:162-163)
Hendaklah kamu menjadi orang yang berniat baik, janganlah kamu menjadi orang yang kebanyakan melakukan adat kebiasaan, arahkan semua urusanmu kepada Allah dengan niat yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaih wassalam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya…”.[20]
Bersungguh-sungguhlah dalam menyibukkan diri dengan ketaatan dalam setiap waktu dan tempat, jadikanlah lidahmu senantiasa berdzikir, hatimu senantiasa bersyukur, hartamu dimanfaatkan untuk bersedekah dan infak di jalan Allah, jadikan pendengaran, pandangan, dan pemikiranmu pada hal-hal yang dicintai dan diridhai Allah. Letakkanlah hadits Abi Dzar di depan matamu, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan melakukan kebaikan, niscaya dia (kebaikan) akan menghapusnya (keburukan), pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.[21]




[1] Ibnul Qayyim. Zad Al-Ma’ad. (I/185). Cetakan Pustaka Al-Kautsar.
[2] Ahmad Muhammad An-Na’an. Tazkiyah An-Nufus. (Al-Madinah Al-Munawwarah: Maktabah Asy-Syuruq). h. 17.
[3] Ahmad Farid. As-Salafiyyah fi Syarh Al-Khamsin Ar-Rajabiyyah. (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi). h. 16.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 1), Muslim (no. 1907)
[5] As-Salafiyyah fi Syarh Al-Khamsin Ar-Rajabiyyah. h. 16. Lihat juga Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.
[6] Lihat Jami’ Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali.
[7] Hadits Shahih diriwayatkann Ahmad (V/183), dan Ibnu Majah (no.4105).
[8] HR. Muslim dalam kitab al-Birr wa Ash-Shilah, 16/183m Ibnu Majah (no. 4143) dan ini lafazhnya.
[9] Hadits qawiy, dikeluarkan An-Nasa’I (VI/25), dan Ath-Thabrani (7628).
[10] HR. Muslim (no.2985)
[11] Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya (III/446), (IV/215), hadits ini kuat. Ali bin Al-Madini berkata, “Sanadnya bagus”.
[12] Ia termasuk Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaih wasslam. Wallahu a’lam.
[13] Ahmad Muhammad An-Na’an. Tazkiyah An-Nufus. H. 17.
[14] Lihat Jami’ Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, As-Salafiyyah fi Syarh AL-Khamsin Ar-Rajabiyyah oleh Ahmad Farid, dan Tazkiyah An-Nufus oleh Ahmad Muhammad An-Na’an.
[15] Ibnu Al-Qayyim. Igatsah AL-Lahfan min Maqashid Asy-Syaithan. (I/9).
[16] Ibid. (I/45).
[17] Al-Islam Din Al-Kamilun, Muhammad Amin Asy-Syinqithi, h. 49.
[18] Syuhrah adalah ingin dikenal orang lain.
[19] Fawwaz bin Hulayyil As-Suhaimi. Usus Manhaj As-Salaf fi Ad-Da’wah ila Allah. (Jakarta: Darul Haq). h. 34.
[20] HR. Al-Bukhari (no. 1), Muslim (no. 1907)
[21] HR. at-Tirmidzi (no.1987), dan selainnya. At-Tirmidzi menghasankannya.