Selasa, 28 November 2017

KRITIK JOHN LOCKE ATAS ALIRAN RASIONALISME DAN EMPIRISME


Kritisisme Immanuel Kant (1724-1804)
            Abad ke-18 di Jerman biasa disebut Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment. Pemberian nama ini dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig (dalam bahasa Jerman disebut Unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya, yaitu rasio. Oleh karenanya semboyan Aufklarung menjadi Sapere Aude! Hendaklah anda berani berpikir sendiri! Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah di mulai sejak Renaissance dan Reformasi.
            Di Inggris  pada zaman itu muncul deisme, yaitu suatu pendirian pemikir-pemikir yang sungguh pun menerima adanya Allah, akan tetapi beranggapan bahwa Allah tidak menghiraukan penyelenggaraan dunia. Tokoh zaman pencerahan di sini antara Hume yang telah disinggung di atas.
            Di Prancis muncul para ensiklopedis, materialis serta tokoh-tokoh seperti, Voltaire (1641-1778), Charles De Montesque (1689-1775) dan Jean Jaqcues Rousseau (1712-1778) yang amat terkenal dengan teori kontrak sosialnya (buku-bukunya terbit tahun 1762).
            Di Jerman seorang filsuf besar yang melebihi zaman Aufklarung telah lahir, itulah Immanuel Kant yang akan kita bicarakan secara khusus dalam buku ini.
Kritisisme dan Ciri-cirinya
            Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena ituf, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Yayasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
·         Apa yang dapat saya ketahui?
·         Apa yang harus saya lakukan?
·         Apa yang boleh saya harapkan?
Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.      Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.      Menegaskan keterbatasan kemampuan manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja;
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

Sebelum kita memasuki pembahasan kritisisme lebih jauh, kiranya akan berguna bila terlebih dahulu berkenalan dengan latar belakang tokohnya.
Riwayat Hidup
            Immanuel Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur, Jerman Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya sangat penting dan membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern. Ia terpengaruh oleh lahiran Piettisme dari ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman Scepticism serta membaca karangan-karangan Voltaire dan Hume. Akibta dari itu semua ialah bahwa ia mempunyai problema: what can we know? (apa yang dapat kita ketahui?) what is nature and what are the limits of human knowledge? (apakah alam ini dan apakah batas-batas pengetahuan manusia itu?) sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical prosess of thought (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan the reality of things (realitas segala yang wujud).
            Kehidupannya sebagai filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zama pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi, karena terpengaruh oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada, zaman kritisnya, Kant merubah wajah filsafatinya secara radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus mempertanggungkannya dengan dogmatisnya.
            Karyanya yang terkenal dan menampakkan kritisismenya, ialah Kritik der Reinen Vernunft Reason dan Critique of Pure Reason yang membicarakan tentang Reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun. Buku ini amat terkenal di dunia filsafat. Dalam literatur bahasa Indonesia biasanya disebut “kritik atas rasio praktis”. Buku kedua adalah Kritik der Practischen Vermunft (1781) atau biasa disebut Critique of Practical Reason alias kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya. Ketiga, buku Kritik der Arteilskraft (1790) atau Critique of Judgement alias kritik atas daya pertimbangan.
Tujuan filsafat Hant
            Melalui filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tahap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisime yang radikal. Nah, Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.
            Kebenaran Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah:
a)      Bersifat umum dan mutlak, dan
b)      Memberi pengetahuan yang baru
Kritik Atas Rasio Murni
            Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan insur a priori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti misalnya “ide-ide bawaan” ala Descartes). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (seperti Locke yang menganggap rasio sebagai “lembaran putih” –as a white paper-). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
            Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan konsekuen, maupun ia tidak dapat menyetujuinya skeptisisme yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup sesudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar. Hukum-hukum ilmu pengetahuan berlaku selalu dan d mana-mana, misalnya air mendidih dalam 100°C, selalu begitu dan begitu dan begitulah di mana-mana. Yang menjadi soal adalah, bagaimana hal itu mungkin terjadi? Syarat-syarat manakah yang harus terpenuhi untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam dapat menghasilkan pengetahuan yang begitu mutlak dan perlu pasti? Untuk menjawab pertanyaaan-pertanyaan itu, Kant mengadakan suatu revolusi filsafat. Ia berkata bahwa ia mau mengusahakan suatu “Revolusi Kopernikan”, berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang menjadikan Coeprnicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan yang berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri kepada subjek. Sebagaimana Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikian pun Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan objek.
Pada Taraf Indera
            Di atas sudah dikatakan bahwa pengenalan merupakan sistesa antara unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk, dan unsur apoeterori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada indera. Ia berpendapat bahwa pengetahuan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya” (ruangan sincli). Dan waktu bukan merupakan suatu arus tertap, dimana penginderaan-penginderaan bisa diciptakan. Keduanya merupakan bentuk apriori sensibilitas. Atau dengan lain perkataan, kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri.
            Pendirian tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang penting. Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek, Kant berkata: memang ada das Ding an Sich (benda dalam dirinya; the things itself). Tetapi, das Ding an Sich selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala (Erscheinungen), yang selalu merupakan sinentesa atara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu.
Pada Taraf Akal Budi
            Kant membedakan akal budi Verstand dengan Vernunft. Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan lain perkataan, akal budi menciptakan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan istilah “kategori”.
            Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang  terpenting dapat disebut di sini hanya dua kategori saja, yaitu substansi dan kausalitas. Jika kita umpamakan membentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka sahnya putusan itu tidak berlangsung berasal dari realitas, melainkan kita harus memikirkan hubungan antara data A dan data B berdasarkan kategori  kausalitas (sebab-akibat). Maksud Kant kiranya dapat diterangkan sedikit dengan perumpamaan berikut: jika seorang tertentu memakai kacamata yang kacanya berwarna merah, maka  ia melihat segala benda berwarna merah. Tentu itu tidak berarti bahwa benda-benda itu sendiri berwarna merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana pengalaman dilakukan (jalan pengenalan yang ditempuh), memuat suatu faktor (kacamata berwarna merah) yang karenanya (karena faktor itu) ia terpaksa hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah. Nah, demikian halnya dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori lainnya. Dengan demikian, Kant sudah menjelaskan sahihnya ilmu pengetahuan alam. Sekarang kita mengerti juga bahwa Kant betul-betul mengadakan suatu revolusi Kopernikan.

Pada Taraf Rasio
            Tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan, demikian rasio menggabungkan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide: jiwa, dunia dan Allah. Apa yang dimaksud ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide-ide tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketika ide sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya, metafisika merupakan membuktikan bahwa Allah adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia. Uraian yang panjang lembar dikemukakan oleh Kant untuk memperlihatkan kepada kita bahwa bukti-bukti untuk adanya Allah yang diberikan dalam filsafat bersifat kontradiktoris.
            Perlu dicatat bahwa bagian terpenting dari buku Kant, critique on Pure Reason adalah filsafat Kant tentang Trancendental Aeshethic yang merupakan Trancendental Philosophy, di sini artinya apriori. Trancendental aesthethic ini membicarakan ruang dan waktu. Bagian kedua dari Trancendental aesthethic ini adalah bagian trancendental analytic (tahli liy) dan trancendental dialectic (jadaly). Yang terpenting dapat membuktikan keterbatasan kemampuan rasio manusia ialah trancendental logic bagian kedua, yaitu trancendental dialectic yang dinamakin antinomy of pure reason yang berjumlah empat dan terdiri dari masing-masing tesis dan antitesis yang dalam bahasa Arab dipakai istilah tana qudat al-aql al-kha lis.

Kritik Atas Rasio Praktis
            Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri rasio murni. Akan tetapi, disamping rasio murni terdapat apa yang harus disebut rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan  apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis  memberikan perintah mutlak yang disebutnya sebagai imoeratif kategori. Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan orang lain, maka kita harus mengembalikan kepada pemiliknya. Atau bisa juga berupa pernyataan negatif berupa larangan, seperti jangan membunuh orang yang tidak bersalah. Kant kemudian bertanya, “Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu?” prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah, kalau kita harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil,  jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut.  Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah:
1.      Kebebasan kehendak;
2.      Immoralitas jiwa,dan
3.      Adanya Allah

Jadi apa yang tidak dapat di temui atas dasar rasio teoritis harus di andaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan berkehendak immoralitas jiwa dan adanya Allah kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan sebagai globe alias kepercayaan. Maka dari sinilah kita bisa melihat kan sebagai filsuf yang mengulik filsafat untuk mempengaruhi keimanan; keimanan kristianinya. Coba bandingkan dengan filsof  Islam seperti Ibnu Rusyd yang berupaya menjadikan filsafat sebagai alat penguat keimanan sebagaimana yang tampak dari dalam kitab nya Fasl al-Maqa’l Fi masyarakat bayn al-Hikmat wa al-Shari’at min al-ittisal!
Kritik Atas Daya Pertimbangan


            Pada bagian ini kita bisa menganalisis “kritik ketiga” dari Kant. Dalam kesempatan ini kiranya cukuplah disebutkan problem-problem yang dibentangkan dalam karyanya, Critique of Judgement. Sebagai konsekuensi dari “kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktis” adalah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu: lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud Kritik  der Urteilkraft ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bisa bersifat subjektif, manusia  mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi di dalam pengalaman estetis (seni). Pengalaman estetis itu diselidiki dalam bagian pertama bukunya, yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteilskhraft. Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu kritik der Theologischen Unteilskraft.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan komentar anda yang membangun demi kemajuan Blog ini.