1.
Rasionalisme Rene Descartes ( 1595-1650)
Aliran
filsafat yang berasal dari DESCARTES biasanya disebut rasionalisme, karena
aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan
itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di
luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua
masalah utama yang keduanya di warisi dari Descartes. Pertama, masalah
substansi, kedua, masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.
Rene
Descartes adalah tokoh filsafat abad modern,
bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya. Ada perbedaan penting antara
filsafat abad pertengahan dan abad modern. Perbedaan tersebut bukanlah dilihat
dari segi dikotomi mundur dan maju seperti halnya pada dunia ilmu pengetahuan.
Perbedaan keduanya lebih sering dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing.
Filsafat abad pertengahan bercirikan sinkretasi antara wahyu dan akal, antara
rasio dengan agama, dengan kecendrungan untuk mencari pembenaran-pembenaran
terhadap wahyu dan eksistensi Tuhan melalui argumen-argumen filosofis. Ingat, credo
ut intelligem yang introdusir oleh Anselem dkk. Perhatian filsafat melulu
dicurahkan pada hal-hal yang bersifat abstrak, sedangkan hal-hal yang konkret
dan tampak pada umumnya di abaikan. Adapun ciri filsafat modern adalah
perhatian yang antusias terhadap hal-hal yang konkret, seperti alam semesta,
manusia, hidup bermasyarakat dan sejarah. Dengan kata lain segala segi dari
kenyataan yang nampak dijadikan sasaran penyelidikan.
a.
Riwayat Hidup
dan Karya Descartes
Rene
Descartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempat Jaochim Descartes, seorang
anggota perlemen kota Britari, propinsi Renatus di Prancis. Kakeknya, Piere
Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakang kedokteran.
Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (Sekarang di sebut La Haye
Descartes), propinsi Teuraine, Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rene,
tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filasafat, sehingga
ayahnya pun memanggilnya dengan julukan si filsafat cilik.
Disinilah
dia memperoleh pengetahuan tentang dasar
karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, musik dan akting, logika
Aristoteles dan etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran
metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Konon selama belajar di sini dia sudah
merasakan kebingungan dan ketidakpuasan terhadap apa yang didapat dari gurunya
dan dari buku yang dibacanya mengenai filsafat yang penuh kesimpangsiuran dan
pertentangan-pertentangan antara berbagai aliran dan pemikiran.
Pada
tahun 1612, Rene Descartes pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan
kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint
German untuk mengerjakan ilmu ukur. Pada tahun 1617 ia bergabung dengan tentara
Belanda. Selama dua tahun ia mengalami suasana damai dan tenteram di negeri
Kincir Angin ini, sehingga ia dapat mengerjakan renungan filsafatinya. Tahun
1619 Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Dan selama musim dingin antara
1619-1620, di kota ini ia mempunyai pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam
buku pertamanya, Descours de la Methode, salah satu pengalamannya yang
unik adalah tentang mimpi yang dialaminya sebanyak tiga kali dalam satu malam,
yang dilukiskan oleh sebagaian penulis bagaikan ilham dari Tuhan.
Tahun
1621 Descartes berhenti dari medang peran dan setelah berkelana ke Italia, ia
lalu menetap ke Paris (1925). Tiga tahun kemudian, ia kembali masuk tentara,
tetapi tidak lama ia keluar lagi dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup di
negeri Belanda. Di sinilah ia menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim
kebebasan berpikir. Di negeri inilah ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya
di bidang ilmu dan filsafat.
Ada
sementara penulis yang menyatakan bahwa Descartes adalah seorang penganut
Katolik yang jujur, sehingga sekalipun ia penganut “Bid’ah” Galileo dan
Copernicus tentang perputaran bumi dan infanitas alam semesta, namun bukunya
yang berjudul Le Monde (jagat) yang memuat kedua teori itu, tidak ia terbitkan
demi menjaga kewibawaan Gereja Katolik. Dalam kaitan inilah kiranya
Serangan-serangan terhadap ajaran Descartes bukan berasal dari Katolik yang
ortodok, melainkan justru orang-orang Protestan. Mereka menganggap
ajaran-ajaran Descartes membawa pada Atheisme sehingga hampir saja ia dihukum
sekiranya bukan bantuan duta besar Prancis dan Pangeran Orange dari Belanda.
Ketika penguasa Universitas Leiden dan Utrecht mengkritiknya habis-habisan dan
melarang karya-karyanya digunakan di kalangan universitas tersebut, maka
lagi-lagi Pangeran Orange turun tangan membantunya.
Filsafat
Descartes
METODE
Agar
filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita terutama memerlukan
suatu metode yang baik, demikian pendapat Descartes. Hal ini mengingat bahwa
terjadinya kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam pemikiran-pemikiran
filsafat disebabkan oleh karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai
pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia
sendiri berpikir sudah mendapatkan metode yang dicarinya itu, yaitu dengan
menyangsikan segala-galanya atau keraguan-keraguan. Ia bermaksud bahwa
kesangsian-kesangsian dan keraguan-keraguan ini harus meliputi seluruh
pengetahuan yang saya miliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini
saya anggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia meterial; bahwa saya
mempunyai tubuh; bahwa Allah ada). Kalau suatu kebenaran yang tahan dalam
kesangsian yang radikal itu, maka itu kebenaran yang sama sekali pasti akan
harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan. Cogito ergo sum:
saya yang sedang menyangsikan, ada. Cagito ergo sum yang berasal dari
kata latin ini berarti, saya berpikir disini adalah menyadari. Jika saya
sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung
menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern kata Cogito ergo sum
itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa
besar pun usahaku. Mengapa kebenaran ini benar-benar bersifat pasti? Karena
saya mengerti ilmu itu dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus di
terima dengan benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.
Lebih
jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate)
dari metode yang hendak dicanangkannya dapat dijumpai dalam bagian kedua dari
karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya
memperhatikan empat hal berikut ini:
PERTAMA. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya
melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and distinctly),
sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
KEDUA, pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak
mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu
merobohkannya.
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang
sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang
paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal yang sulit,
selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna dan
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin bahwa tidak ada
satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjajahan itu.
Atas
dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filosofinya.
Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera.
Saya dapat meragukan, demikian menurut Descartes, bahwa saya sedang disini, di
dekat perapian, dalam pakaian lengkap, karena kadang-kadang saya bermimpi dalam
keadaan demikian, padahal waktu itu saya sedang tergeletak di tempat tidur
dengan telanjang bulat (saat itu barangkali belum di temukan piyama ataupun
pakaian tidur!). selanjutnya, jika seseorang gila kadangkala berhalusinasi,
maka siapakah yang menjamin bahwa keadaanku sekarang tidak seperti keadaan
orang gila tadi?
Tentang impian itu dijelaskan lebih lanjut oleh descartes yang
dilukiskan sebagai pelukis yang memberikan kepada kita turunan barang-barang
dari dunia kenyataan, setidak-tidaknya dalam berbagai elemennya. Kau bisa
memikirkan seorang kuda bersayap yang sedang terbang, karena kau pernah melihat
kuda dan melihat sayap secara terpisah. Sehubungan dengan ini maka
perangai-perangai umum benda yang menyangkut hal-hal seperti extention
(keluasan), gerak, besaran, angka, adalah lebih mudah di yakini dari hal-hal
yang bersifat khusus dan individual. Ilmu ukur dan ilmu hitung memberi lebih
besar kepastian jika dibandingkan dengan ilmu alam dan astronomi. Bahkan
ternyata hitungan dan ukuran memberi kepastian juga dalam impian. Tetapi
kendati demikian, keraguan bisa terjadi dalam kedua ilmu ini karena bisa saja
Tuhan membuat saya keliru ketika saya menghitung dan mengukur. Dan andaikan
bukan Tuhan yang membuat saya keliru ketika menghitung dan mengukur, maka bisa
saja di sana ada setan yang licik atau jin botak yang berusaha untuk menipu dan
menyesatkanku. Kalau ini benar, maka mungkin sekali bahwa segala sesuatu yang
aku lihat hanyalah bayang-bayang (ilusi) dimana aku terperangkap di dalamnya.
Demikian kira-kira ungkapan Descartes tersebut bila kita terjemahkan ke dalam
bahasa yang mudah dimengerti.
Betapa pun radikalnya keraguan-raguan Descartes ini, namun akhirnya
ia mengakui bahwa di sana ada satu hal yang tidak bisa diragukan, biar setan
licik atau jin botak yang berminat menipunya. Yang dimaksudkannya ialah, bahwa
“aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berpikir dan karena aku
berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).” Mengingat bahwa aku berpikir ini
adalah sesuatu, dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras
meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling hebat pun tidak akan
mempu menumbangkanya, maka sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat
menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang kucari.
Sejenak kita mengingat filsuf Islam, al-Ghazali, yang pernah
mengalami keragu-raguan (al-shakk) jauh sebelum munculnya Descartes. Bila
perjalanan pemikiran filsafati Descartes berujung pada kelahiran rasionalisme
yang cenderung mengabaikan Tuhan dan agama, maka perjalanan pemikiran filsafati
al-Ghazali sama sekali berbeda dengan Descartes. Al-Ghazali sampai pada
keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan dengan melalui jalan tasawuf yang
berpuncak ma’rifat, yakni pengetahuan intuitif.
Cogito ergo sum inilah yang di anggap sebagai fase yang paling penting dalam
filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama
(primium philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu
substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran, dan untuk
berada tidak memerlukan suatu tempat atau suatu yang bersifat bendawi. Prinsip
bahwa kebenaran yang pasti adalah yang jelas dan terpilah-pilah, menurut B.
William, merupakan problem sentral dan sekaligus inti filsafat Descartes.
Untuk menjamin agar apa yang ditetapkan oleh akal itu, atau rasio,
benar-benar tidak salah, maka ia lari dari Tuhan. Lebih dari itu ia
mengemukakan ide bawaan.
Ide-ide bawaan
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapat dipercaya, maka
menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya
dengan mengunakan norma-norma tadi, Cogito ergo sum. Kalau metode dilangsungkan
demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama
dapat ditemukan ide bawaan (Innate
Ideas). Ketiga ide sudah ada pada diri saya sejak saya lahir, yaitu
pemikiran, Allah, dan keluasan.
a.
Pemikiran;
sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, harus diterima
juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b.
Allah sebagai
wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada
suatu penyebab sempurna ide itu, karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Allah.
c.
Keluasan; saya
mengerti materi sebagai keluasan atau eksistensi (extention), sebagaimana hal
itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Substansi
Descartes
menyimpulkan bahwa selain Allah ada dua subtansi, pertama, jiwa yang hakikatnya
adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena
Descartes telah menyangsikan adanya dunia material ialah bahwa Allah akan
menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan diluar
tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa wujud
yang sempurna menipu saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia
material.
Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia
terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh
adalah keluasaan. Sebenarnya tubuh tidak lain daripada mesin yang dijalankan
oleh jiwa. Kerana setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari
substansi yang lain, maka kiranya sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu
dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya Descartes mempunyai banyak kesulitan
untuk mengartikann pengaruh tubuh atas jiwa, dan sebaliknya. Satu kali ia
menyatakan bahwa kontak antara tubuh
dengan jiwa berlangsung dalam grandula pincalis (sebuah kelenjar kecil yang
letaknya di bawah otak kecil). Tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.
Pengaruh dan Kritik terhadap Descartes
Pengaruh Descartes terlalu sulit untuk ditelusuri seluk beluknya.
Oleh karena hampir seluruh aliran filsafat sesudahnya mempunyai impact,
setidak-tidaknya mempunyai akar kesejarahan dari pemikirannya. Problem-problem
kefilsafatanlah yang menjadi dasar inspirasi atau bahkan dasar pemikiran bagi
timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang datang kemudian.
Kritik terhadap filsafat Descartes adalah kecendrungannya yang
sangat kuat terhadap subjektivits, oleh karena terbukti bahwa setiap orang
memiliki kecendrungan. Karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda.
oleh karena itu, jika pikiran melulu yang dijadikan tolak ukur kebenaran, maka
kenisbianlah yang akan menjadi buahnya.
Honer dan Hunt mengkritik rasionalisme dari segi kegagalannya yang
menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia selama ini. Banyak
ide yang sudah dianggap pasti, namun suatu ketika, pada saat yang lain,
mengalami perubahan. Contoh gamblangnya adalah teori mengenai bumi yang
menyatakan bumi adalah pusat sistem matahai (pusat tata surya) yang pernah
diterima secara umum sabagai suatu pernyataan yang pasti, tetapi kemudian
pernyataan ini tumbang dengan sendirinya begitu datang teori baru yang lebih
sahih berdasarkan penelitian empiris.
Kritikan terhadap rasionalisme sebenarnya sangat banyak terutama
dari kelompok empirisme. Namun demikian, akan kelihatan nanti bahwa baik
rasionalisme dan empirisme, keduanya tidak luput dari kritikan dan serangan
menggebu yang dilancarkan Immanuel Kant. Semuanya menunjukkan bahwa
Rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah
sehingga cagito ergo sum tidak lagi dianggap titik total yang memadai.
Belakangan datang juga kritik
yang berangkat dari responden ergo sum yang dilancarkan oleh Heimann
dari kalangan filsafat eksistensialisme. Prinsip ini berusaha memahami
keberadaan manusia melalui dialog yang berlangsung terus-menerus antara manusia
dengan dirinya dan dunia luarnya. Menusia selalu beresponsi terhadap segala
gejala, aksi, dan realita yang ditemui dan dihadapinya. Namun semuanya itu
belum mencapai tujuan suatu kata akhir, suatu penyelesaian. Karena, jika kita
nyatakan sebagai suatu jawaban atas kata akhir, kita telah berkhianat karena
membunuh kreativitas manusia yang bertabiat bergelut dan selalu mencari hakikat
kebenaran.
Rasionalisme Pasca Descartes
Nicolas Malerbranche (1638-1775)
Orang Prancis ini berusaha mendamaikan filsafat baru yang dirintis
Descartes dengan tradisi pemikiran Kristiani, khususnya pemikiran Augustinus.
Dalam masalah substansi ia mengikuti ajaran Descartes, bahwa ada dua substansi,
pemikiran dan keluasan. Akan tetapi, untuk masalah hubungan dengan jiwa ia
mengikuti pemecahannya sendiri. Pendiriannya dibidang ini biasanya disebut
okkasionalisme (occasio = kesempatan). Malerbranche mempertahankan dengan tegas
pendapatnya bahwa jiwa tidak dapat mempengaruhi tubuh, demikian juga
sebaliknya. Tetapi pada kesempatan terjadinya perubahan dalam tubuh, Allah
menyebabkan perubahan yang sesuai dengannya dalam jiwa dan sebaliknya juga.
Misalnya, pada kesempatan tangan saya terbakar api, maka Allah mengakibatkan
rasa sakit dalam jiwa. Demikian pula jika saya mau mengulurkan tangan saya
(peristiwa dalam jiwa), maka Allah menyebabkan bahwa tangan saya betul-betul di
ulurkan. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam tiap-tiap kasus anggapan, Allah
harus campur tangan secara khusus. Malerbranche beranggapan bahwa Allah bekerja
sebagai penyebab menurut hukum-hukum tetap yang telah ditentukan satu kali
untuk selamanya.
De Spinoza (1632-1677)
De Spinoza lahir di Amsterdam. Menurut Spinoza, hanya ada satu
substansi, yaitu Allah. Dan satu substansi ini meliputi baik dunia maupun
manusia. Itulah sebabnya Spinoza disebut panteisme, Allah disamakan dengan
segala sesuatu yang ada
Gottfried Wilhelm Leibniz ( 1646-1716 M)
Orang jerman ini menuliskan karya-karyanya dalam bahasa latin dan
Prancis, seorang ensiklopedis (orang yang mengetahui segala lapangan
pengetahuan pada masanya0. Menurut Leibniz, substansi itu jumlahnya tiada
terhingga yang kemudian ia namakan sebagai monade. Dalam suatu kalimat yang
kemudian terkenal Leibniz mengatakan, “Monade-monade tidak mempunyai jendela,
tempat sesuatu bisa masuk atau keluar.” Pernyataan ini berarti bahwa semuanya
monade harus dianggap tertutup seperti
cogito Descartes.
Chritian Wolff (1679-1754 M)
Karena Leibniz tidak menciptakan sistem filosofis, maka Wolff
manyadur filsafat Leibniz serta menyusunya menjadi satu sistem. Disamping itu,
dalam penyusunan tersebut ia banyak menggunakan unsur skolastik. Karena Wolff
inilah Rasionalisme di jerman pada masanya merajalela di semua universitas.
Blaise Pascal (1623-1662 M)
Filsuf ini dalam sejarah pemikiran Prancis abad ke-17 mempunyai
tempat tersendiri. Sekalipun ia sepakat dengan Descartes dalam menerima ilmu
pasti tersebut sebagai model atau contoh yang teristimewa untuk metode
filsafar. Filsaft Descartes menjadi Rasionalisme, justru karena ia berpendapat
bahwa metode filsafat harus meniru metode ilmu pasti. Berbeda dengan Descartes,
Pascal memandang bahwa manusia selalu dianggap sebagai misteri yang tidak dapat
diselami sampai dasarnya. Ada yang lebih penting dari rasio (raison), yaitu
hati (coeur), demikian menurut Pascal. Rasio hanya menghasilkan pengetahuan
yang dingin, sedangkan hati memberikan pengetahuan dimana cinta juga mempunyai
peranan. Dengan rasio kita mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam,tetapi dengan
hati kita mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, terutama Tuhan Allah.
Dengan semboyannya berikut ini, kita dengan mudah mengingat dasar pemikiran
filsafatnya, Le coeur Anaximenes ses raisons que la raison ne connait point,
yang diartikan “hati-hati memiliki rasionya sendiri yang tidak dapat dipahami
oleh rasio itu sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan komentar anda yang membangun demi kemajuan Blog ini.