Selasa, 28 November 2017

RASIONALISME RENE DESCARTES

1.      Rasionalisme Rene Descartes ( 1595-1650)
Aliran filsafat yang berasal dari DESCARTES biasanya disebut rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya di warisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua, masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.
Rene Descartes adalah tokoh filsafat abad modern,  bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya. Ada perbedaan penting antara filsafat abad pertengahan dan abad modern. Perbedaan tersebut bukanlah dilihat dari segi dikotomi mundur dan maju seperti halnya pada dunia ilmu pengetahuan. Perbedaan keduanya lebih sering dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing. Filsafat abad pertengahan bercirikan sinkretasi antara wahyu dan akal, antara rasio dengan agama, dengan kecendrungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap wahyu dan eksistensi Tuhan melalui argumen-argumen filosofis. Ingat, credo ut intelligem yang introdusir oleh Anselem dkk. Perhatian filsafat melulu dicurahkan pada hal-hal yang bersifat abstrak, sedangkan hal-hal yang konkret dan tampak pada umumnya di abaikan. Adapun ciri filsafat modern adalah perhatian yang antusias terhadap hal-hal yang konkret, seperti alam semesta, manusia, hidup bermasyarakat dan sejarah. Dengan kata lain segala segi dari kenyataan yang nampak dijadikan sasaran penyelidikan.

a.      Riwayat Hidup dan Karya Descartes
Rene Descartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempat Jaochim Descartes, seorang anggota perlemen kota Britari, propinsi Renatus di Prancis. Kakeknya, Piere Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakang kedokteran. Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (Sekarang di sebut La Haye Descartes), propinsi Teuraine, Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rene, tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filasafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan si filsafat cilik.
Disinilah dia memperoleh  pengetahuan tentang dasar karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, musik dan akting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Konon selama belajar di sini dia sudah merasakan kebingungan dan ketidakpuasan terhadap apa yang didapat dari gurunya dan dari buku yang dibacanya mengenai filsafat yang penuh kesimpangsiuran dan pertentangan-pertentangan antara berbagai aliran dan pemikiran.
Pada tahun 1612, Rene Descartes pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint German untuk mengerjakan ilmu ukur. Pada tahun 1617 ia bergabung dengan tentara Belanda. Selama dua tahun ia mengalami suasana damai dan tenteram di negeri Kincir Angin ini, sehingga ia dapat mengerjakan renungan filsafatinya. Tahun 1619 Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Dan selama musim dingin antara 1619-1620, di kota ini ia mempunyai pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam buku pertamanya, Descours de la Methode, salah satu pengalamannya yang unik adalah tentang mimpi yang dialaminya sebanyak tiga kali dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagaian penulis bagaikan ilham dari Tuhan.
Tahun 1621 Descartes berhenti dari medang peran dan setelah berkelana ke Italia, ia lalu menetap ke Paris (1925). Tiga tahun kemudian, ia kembali masuk tentara, tetapi tidak lama ia keluar lagi dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup di negeri Belanda. Di sinilah ia menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim kebebasan berpikir. Di negeri inilah ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat.
Ada sementara penulis yang menyatakan bahwa Descartes adalah seorang penganut Katolik yang jujur, sehingga sekalipun ia penganut “Bid’ah” Galileo dan Copernicus tentang perputaran bumi dan infanitas alam semesta, namun bukunya yang berjudul Le Monde (jagat) yang memuat kedua teori itu, tidak ia terbitkan demi menjaga kewibawaan Gereja Katolik. Dalam kaitan inilah kiranya Serangan-serangan terhadap ajaran Descartes bukan berasal dari Katolik yang ortodok, melainkan justru orang-orang Protestan. Mereka menganggap ajaran-ajaran Descartes membawa pada Atheisme sehingga hampir saja ia dihukum sekiranya bukan bantuan duta besar Prancis dan Pangeran Orange dari Belanda. Ketika penguasa Universitas Leiden dan Utrecht mengkritiknya habis-habisan dan melarang karya-karyanya digunakan di kalangan universitas tersebut, maka lagi-lagi Pangeran Orange turun tangan membantunya.

Filsafat Descartes
METODE
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita terutama memerlukan suatu metode yang baik, demikian pendapat Descartes. Hal ini mengingat bahwa terjadinya kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam pemikiran-pemikiran filsafat disebabkan oleh karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia sendiri berpikir sudah mendapatkan metode yang dicarinya itu, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya atau keraguan-keraguan. Ia bermaksud bahwa kesangsian-kesangsian dan keraguan-keraguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang saya miliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini saya anggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia meterial; bahwa saya mempunyai tubuh; bahwa Allah ada). Kalau suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itu kebenaran yang sama sekali pasti akan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan. Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan, ada. Cagito ergo sum yang berasal dari kata latin ini berarti, saya berpikir disini adalah menyadari. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern kata Cogito ergo sum itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa besar pun usahaku. Mengapa kebenaran ini benar-benar bersifat pasti? Karena saya mengerti ilmu itu dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus di terima dengan benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.
Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) dari metode yang hendak dicanangkannya dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
PERTAMA. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and distinctly), sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
KEDUA, pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal yang sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna dan pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjajahan itu.         
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filosofinya. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Saya dapat meragukan, demikian menurut Descartes, bahwa saya sedang disini, di dekat perapian, dalam pakaian lengkap, karena kadang-kadang saya bermimpi dalam keadaan demikian, padahal waktu itu saya sedang tergeletak di tempat tidur dengan telanjang bulat (saat itu barangkali belum di temukan piyama ataupun pakaian tidur!). selanjutnya, jika seseorang gila kadangkala berhalusinasi, maka siapakah yang menjamin bahwa keadaanku sekarang tidak seperti keadaan orang gila tadi?
Tentang impian itu dijelaskan lebih lanjut oleh descartes yang dilukiskan sebagai pelukis yang memberikan kepada kita turunan barang-barang dari dunia kenyataan, setidak-tidaknya dalam berbagai elemennya. Kau bisa memikirkan seorang kuda bersayap yang sedang terbang, karena kau pernah melihat kuda dan melihat sayap secara terpisah. Sehubungan dengan ini maka perangai-perangai umum benda yang menyangkut hal-hal seperti extention (keluasan), gerak, besaran, angka, adalah lebih mudah di yakini dari hal-hal yang bersifat khusus dan individual. Ilmu ukur dan ilmu hitung memberi lebih besar kepastian jika dibandingkan dengan ilmu alam dan astronomi. Bahkan ternyata hitungan dan ukuran memberi kepastian juga dalam impian. Tetapi kendati demikian, keraguan bisa terjadi dalam kedua ilmu ini karena bisa saja Tuhan membuat saya keliru ketika saya menghitung dan mengukur. Dan andaikan bukan Tuhan yang membuat saya keliru ketika menghitung dan mengukur, maka bisa saja di sana ada setan yang licik atau jin botak yang berusaha untuk menipu dan menyesatkanku. Kalau ini benar, maka mungkin sekali bahwa segala sesuatu yang aku lihat hanyalah bayang-bayang (ilusi) dimana aku terperangkap di dalamnya. Demikian kira-kira ungkapan Descartes tersebut bila kita terjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Betapa pun radikalnya keraguan-raguan Descartes ini, namun akhirnya ia mengakui bahwa di sana ada satu hal yang tidak bisa diragukan, biar setan licik atau jin botak yang berminat menipunya. Yang dimaksudkannya ialah, bahwa “aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berpikir dan karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).” Mengingat bahwa aku berpikir ini adalah sesuatu, dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling hebat pun tidak akan mempu menumbangkanya, maka sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang kucari.
Sejenak kita mengingat filsuf Islam, al-Ghazali, yang pernah mengalami keragu-raguan (al-shakk) jauh sebelum munculnya Descartes. Bila perjalanan pemikiran filsafati Descartes berujung pada kelahiran rasionalisme yang cenderung mengabaikan Tuhan dan agama, maka perjalanan pemikiran filsafati al-Ghazali sama sekali berbeda dengan Descartes. Al-Ghazali sampai pada keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan dengan melalui jalan tasawuf yang berpuncak ma’rifat, yakni pengetahuan intuitif.
 Cogito ergo sum inilah yang di anggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primium philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran, dan untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau suatu yang bersifat bendawi. Prinsip bahwa kebenaran yang pasti adalah yang jelas dan terpilah-pilah, menurut B. William, merupakan problem sentral dan sekaligus inti filsafat Descartes.
Untuk menjamin agar apa yang ditetapkan oleh akal itu, atau rasio, benar-benar tidak salah, maka ia lari dari Tuhan. Lebih dari itu ia mengemukakan ide bawaan.
Ide-ide bawaan
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapat dipercaya, maka menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dengan mengunakan norma-norma tadi, Cogito ergo sum. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan ide bawaan (Innate Ideas). Ketiga ide sudah ada pada diri saya sejak saya lahir, yaitu pemikiran, Allah, dan keluasan.
a.       Pemikiran; sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b.      Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna ide itu, karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Allah.
c.       Keluasan; saya mengerti materi sebagai keluasan atau eksistensi (extention), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah ada dua subtansi, pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia material ialah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan diluar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa wujud yang sempurna menipu saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia material.

Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasaan. Sebenarnya tubuh tidak lain daripada mesin yang dijalankan oleh jiwa. Kerana setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, maka kiranya sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikann pengaruh tubuh atas jiwa, dan sebaliknya. Satu kali ia menyatakan bahwa kontak antara  tubuh dengan jiwa berlangsung dalam grandula pincalis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak  memadai bagi Descartes sendiri.
Pengaruh dan Kritik terhadap Descartes
Pengaruh Descartes terlalu sulit untuk ditelusuri seluk beluknya. Oleh karena hampir seluruh aliran filsafat sesudahnya mempunyai impact, setidak-tidaknya mempunyai akar kesejarahan dari pemikirannya. Problem-problem kefilsafatanlah yang menjadi dasar inspirasi atau bahkan dasar pemikiran bagi timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang datang kemudian.
Kritik terhadap filsafat Descartes adalah kecendrungannya yang sangat kuat terhadap subjektivits, oleh karena terbukti bahwa setiap orang memiliki kecendrungan. Karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda. oleh karena itu, jika pikiran melulu yang dijadikan tolak ukur kebenaran, maka kenisbianlah yang akan menjadi buahnya.
Honer dan Hunt mengkritik rasionalisme dari segi kegagalannya yang menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia selama ini. Banyak ide yang sudah dianggap pasti, namun suatu ketika, pada saat yang lain, mengalami perubahan. Contoh gamblangnya adalah teori mengenai bumi yang menyatakan bumi adalah pusat sistem matahai (pusat tata surya) yang pernah diterima secara umum sabagai suatu pernyataan yang pasti, tetapi kemudian pernyataan ini tumbang dengan sendirinya begitu datang teori baru yang lebih sahih berdasarkan penelitian empiris.
Kritikan terhadap rasionalisme sebenarnya sangat banyak terutama dari kelompok empirisme. Namun demikian, akan kelihatan nanti bahwa baik rasionalisme dan empirisme, keduanya tidak luput dari kritikan dan serangan menggebu yang dilancarkan Immanuel Kant. Semuanya menunjukkan bahwa Rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga cagito ergo sum tidak lagi dianggap titik total yang memadai.
Belakangan datang juga kritik  yang berangkat dari responden ergo sum yang dilancarkan oleh Heimann dari kalangan filsafat eksistensialisme. Prinsip ini berusaha memahami keberadaan manusia melalui dialog yang berlangsung terus-menerus antara manusia dengan dirinya dan dunia luarnya. Menusia selalu beresponsi terhadap segala gejala, aksi, dan realita yang ditemui dan dihadapinya. Namun semuanya itu belum mencapai tujuan suatu kata akhir, suatu penyelesaian. Karena, jika kita nyatakan sebagai suatu jawaban atas kata akhir, kita telah berkhianat karena membunuh kreativitas manusia yang bertabiat bergelut dan selalu mencari hakikat kebenaran.
Rasionalisme Pasca Descartes
Nicolas Malerbranche (1638-1775)
Orang Prancis ini berusaha mendamaikan filsafat baru yang dirintis Descartes dengan tradisi pemikiran Kristiani, khususnya pemikiran Augustinus. Dalam masalah substansi ia mengikuti ajaran Descartes, bahwa ada dua substansi, pemikiran dan keluasan. Akan tetapi, untuk masalah hubungan dengan jiwa ia mengikuti pemecahannya sendiri. Pendiriannya dibidang ini biasanya disebut okkasionalisme (occasio = kesempatan). Malerbranche mempertahankan dengan tegas pendapatnya bahwa jiwa tidak dapat mempengaruhi tubuh, demikian juga sebaliknya. Tetapi pada kesempatan terjadinya perubahan dalam tubuh, Allah menyebabkan perubahan yang sesuai dengannya dalam jiwa dan sebaliknya juga. Misalnya, pada kesempatan tangan saya terbakar api, maka Allah mengakibatkan rasa sakit dalam jiwa. Demikian pula jika saya mau mengulurkan tangan saya (peristiwa dalam jiwa), maka Allah menyebabkan bahwa tangan saya betul-betul di ulurkan. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam tiap-tiap kasus anggapan, Allah harus campur tangan secara khusus. Malerbranche beranggapan bahwa Allah bekerja sebagai penyebab menurut hukum-hukum tetap yang telah ditentukan satu kali untuk selamanya.
De Spinoza (1632-1677)
De Spinoza lahir di Amsterdam. Menurut Spinoza, hanya ada satu substansi, yaitu Allah. Dan satu substansi ini meliputi baik dunia maupun manusia. Itulah sebabnya Spinoza disebut panteisme, Allah disamakan dengan segala sesuatu yang ada
Gottfried Wilhelm Leibniz ( 1646-1716 M)
Orang jerman ini menuliskan karya-karyanya dalam bahasa latin dan Prancis, seorang ensiklopedis (orang yang mengetahui segala lapangan pengetahuan pada masanya0. Menurut Leibniz, substansi itu jumlahnya tiada terhingga yang kemudian ia namakan sebagai monade. Dalam suatu kalimat yang kemudian terkenal Leibniz mengatakan, “Monade-monade tidak mempunyai jendela, tempat sesuatu bisa masuk atau keluar.” Pernyataan ini berarti bahwa semuanya monade harus  dianggap tertutup seperti cogito Descartes.
Chritian Wolff (1679-1754 M)
Karena Leibniz tidak menciptakan sistem filosofis, maka Wolff manyadur filsafat Leibniz serta menyusunya menjadi satu sistem. Disamping itu, dalam penyusunan tersebut ia banyak menggunakan unsur skolastik. Karena Wolff inilah Rasionalisme di jerman pada masanya merajalela di semua universitas.
Blaise Pascal (1623-1662 M)
Filsuf ini dalam sejarah pemikiran Prancis abad ke-17 mempunyai tempat tersendiri. Sekalipun ia sepakat dengan Descartes dalam menerima ilmu pasti tersebut sebagai model atau contoh yang teristimewa untuk metode filsafar. Filsaft Descartes menjadi Rasionalisme, justru karena ia berpendapat bahwa metode filsafat harus meniru metode ilmu pasti. Berbeda dengan Descartes, Pascal memandang bahwa manusia selalu dianggap sebagai misteri yang tidak dapat diselami sampai dasarnya. Ada yang lebih penting dari rasio (raison), yaitu hati (coeur), demikian menurut Pascal. Rasio hanya menghasilkan pengetahuan yang dingin, sedangkan hati memberikan pengetahuan dimana cinta juga mempunyai peranan. Dengan rasio kita mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam,tetapi dengan hati kita mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, terutama Tuhan Allah. Dengan semboyannya berikut ini, kita dengan mudah mengingat dasar pemikiran filsafatnya, Le coeur Anaximenes ses raisons que la raison ne connait point, yang diartikan “hati-hati memiliki rasionya sendiri yang tidak dapat dipahami oleh rasio itu sendiri.”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan komentar anda yang membangun demi kemajuan Blog ini.