Selasa, 28 November 2017

EMPIRISME

  Empirisme
            Empirisme, bahasa ini berasal dari kata Yunani, emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Oleh sebab itu, empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan yang dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Masalah yang ramai dibicarakan, baik oleh rasionalisme di daratan Eropa dan empirisme di Inggris, adalah substansi. Tokoh empirisme yang lebih kita tekankan pengkajiannya adalah Thomas Hobbes.
Thommas Hobbes (1588-1679)
            Tokoh ini dilahirkan sebelum waktunya ketika ibunya tercekam rasa takut oleh ancaman penyerbuan armada Spanyol ke Inggris. Ia belajar di Universitas Oxford, kemudian menjadi pengajar pada suatu keluarga yang terpandang. Hubungan dengan keluarga tersebut memberi kesempatan kepadanya untuk membaca buku-buku, bepergian ke negeri asing dan berjumpa dengan tokoh-tokoh penting. Simpatinya pada sistem kerajaan mendorongnya untuk lari ke Prancis pada waktu Inggris dilanda perang saudara. Di sanalah ia mengenal filsafat Descartes dan pemikir-pemikir Prancis lainnya. Karena sangat terkesan dengan ketepatan sains, ia berusaha menciptakan filsafat atas dasar matematika.
            Hobbes menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada pemikirannya tentang manusia dan kehidupan mental. Hal ini mendorongnya untuk menerima, materialisme, mekanisme, dan determinisme. Karya utamanya dalam filsafat adalah Leviathan (1651), mengekspresikan pandangannya tentang hubungan antara alam, manusia dan masyarakat. Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika mereka hidup di dalam keadaan yang dinamakan of nature (keadaan ilmiah) yang merupakan kondisi manusia sebelum dicetuskannya suatu negara atau masyarakat beradab. Kehidupan dalam masa ilmiah adalah buas dan singkat, karena merupakan perjuangan dan peperangan yang terus menerus. Oleh karena manusia menginginkan kelangsungan hidup dan kedamaian, ia mengalihkan kemauan negara dalam suatu kontrak sosial yang membenarkan kekuasaan tertinggi yang mutlak.
            Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan awal mula segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain daripada semacam perhitungan, yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara berlainan. Tentang dunia dan manusia,  ia dapat dikatakan  sebagai penganut materialistik. Karena itu ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda dengan Francis Bacon yang meletakkan eksperimen-eksperimen sebagai metode penelitian, Hobbes memandangnya sebagai doktrin.
            Hobbes juga tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani. Menurut Hobbes seluruh dunia, termasuk juga manusia, merupaka suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja. Adapun bagian ajaran Hobbes yang termasyhur adalah pendapatnya tentang filsafat politik. Ia mengingkari bahwa manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya kecondongan kodrati manusia ialah mempertahankan adanya. Hal tersebut mengakibatkan suatu egoisme radikal; homo homonis lupus (manusia adalah manusia bagi manusia). Tetapi, dalam keadaan demikian, manusia justru tidak mampu mempertahankan adanya. Itulah sebabnya manusia mengadakan perjanjian, yaitu bahwa mereka akan takluk kepada suatu kewibawaan. Dengan demikian, negara pun timbul. Tetapi setelah negara itu timbul, perjanjian itu tidak lagi dicabut, sehingga dengan demikian negara mempunyai kekuasaan yang absolut terhadap warga negara.
Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang ‘yang ada” secara mekanis. Dengan demikian ia merupakan seorang materialis di bidang ajaran tentang antropologi, serta seorang absolut di bidang ajaran tentang negara.
Filsafat Materialisme
            Materialisme yang dianut Hobbes dapat dijelaskan sebagai berikut: segala sesuatu yang ada bersifat bendawi. Yang dimaksud bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan kita. Doktrin atau ajarannya menyatakan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena kaharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi, yaitu yang tidak bergantung kepada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Dengan demikian, maka pengertian substansi diubah menjadi sebuah teori aktualitas. Segala objektivitas di dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang gerak. Berdasarkan pandangannya itulah ia melahirkan filsafatnya tentang manusia.
Manusia
            Manusia tidak lebih daripada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, maka segala sesuatu yang terjadi pada kejadian-kejadian alamiah, yaitu secara mekanis. Manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnya bekerja, yang disebabkan karena pengaruh mekanis dari hawa atmosfir. Dengan demikian, manusia yang hidup tiada lain adalah gerak anggota-anggota tubuhnya. (tentu saja pendapat seperti ini jika dibandingkan dengan Islam amat bertentangan, karena manusia itu walaupun secara fisik [mekanis] yang mati namun jiwanya tetap hidup. Bahkan bagi seorang mukmin kematian adalah kelanjutan hidup yang kekal dan abadi!!)
Jiwa
            Ajaran Hobbes tentang jiwa itupun sejalan dengan ajaean filsafat dasar, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan. Ikhtiar adalah suatu awal gerak yang kecil. Awal gerak nan kecil ini kalau diarahkan untuk menuju kepada sesuatu disebut dengan keinginan yang sama dengan kasih; jika diarahkan untuk meninggalkan sesuatu disebut keengganan atau keseganan yang sama dengan keinginan dan keengganan, tetapi hal yang sama dengan itu. Namun demikian, yang terkuat adalah jikalau terjadi bentrokan-bentrokan. Oleh karena itu, Hobbes merupakan orang yang tidak mengakui kehendak bebas.
Teori Pengenalan
            Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengalaman –sebagai Hobbes--diperoleh kerana pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
            Berbeda dengan kaum rasionalisme, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Kerena pengalaman dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengna akal mulai dengan kata-kata (pengertian-pengertian) yang hanya mewujudkan tanda-tanda yang menurut adat saja, dan yang menjadikan ruh manusia dapat memiliki gambaran dari hal-hal yang diucapkan dengan kata-kata. Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu nama-nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama-nama bendanya. Nama-nama itu tidaklah mempunyai nilai objektif. Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan antara dua nama, sedangkan sillogisme adalah suatu soal hitung, di mana orang bekerja dengan tiga nama.
            Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
            Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak dan dari otak ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi, suatu gerak dalam  jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
            Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek-objek, yang sesuai dengan penginderaan kita, bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengan, bukan berada dalam gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran murni yang bersifat mekanis.
            Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes tampak sekali sebagai penganut nominalisme, di mana ia menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang universal, kecuali nama belaka. Konsekuensi pendapat ini ialah bahwa ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan “benar” atau “tidak benar” itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam bentuk pikiran orang.
John Locke (1632-1704)
            Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui ajarannya. Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke, pengalaman ada dua : pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas). Ruh manusia bersifat sama sekali pasif dalam menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, ruh mempunyai aktivitas juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai satu bangunan, ruh manusiawi dapat membentuk ide majemuk (complex idea), misalnya idea substansi. Locke kemudian menyatakan bahwa dalam dunia luar memang ada substansi, tetapi tidak hanya mengenal ciri-cirinya saja.
Pandangan Locke mengenai lembaran putih manusia mirip sekali dengan teori fitrah dalam filsafat Islam yang berdasarkan atas pernyataan Al-Qur’an, surah ke-30 al-Rum ayat ke-30. Fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir yang di dalamnya terkandung tiga potensi denga fungsinya masing-masing. Pertama, potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenal Tuhan, mengesakan Tuhan, dan mencintai-Nya. Kedua, potensi syahwat yang berfungsi  untuk menginduksi objek-objek yang menerangkan. Ketiga, potensi gadlab yang berfungsi menghindari segala yang membahayakan. Ketika manusia dilahirkan, ketiga potensi ini telah dimilikinya. Namun demikian, agar potensi-potensi tersebut beraktualisasi perlu ada bantuan dari luar dirinya. Dalam filsafat Islam, kedua orang tua anak yang terlahir itulah yang pertama-tama berkewajiban memberikan pengetahuan untuk mengaktualisasi potensi-potensi tersebut. Dengan lain kata, orang tualah yang menggoreskan tulisan di atas lembaran putih si anak yang terlahir itu.
George Berkeley (1665-1753)
            Berkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi Uskup Anglikan di Cloyne (Irlandia). Sebagai penganut empirismem Berkeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Jika Locke masih menerima substansi-substansi di luar kita, maka Berkeley berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material, yang ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja. Esse estpercipi (being is being perceived), yang artinya, dalam dunia material sama saja dengan ide-ide yang saya alami. Sebagaimana dalam bioskop, gambar-gambar film pada layar putih dilihat para penonton sebagai benda-benda yang rill dan hidup. Demikian pula, menurut pemikiran Berkeley, ide-ide membuat saya melihat suatu dunia material. Dan bagaimana saya sendiri? Berkeley mengakui bahwa aku merupakan suatu substansi ruhani. Ia juga mengakui adanya Allah, sebab Allah lah yang merupakan asal usul ide-ide yang saya lihat. Jika kita mengatakan bahwa Allah menciptakan dunia, yang kita maksud adalah bukan berarti ada suatu dunia di luar kita, melainkan bahwa Allah memberi petunjuk atau mempertunjukkan ide-ide kepada kita. Jika kita memahami perbandingan wujud ini dengan film seperti di atas tadi, maka boleh kita teruskan bahwasanya Allah-lah yang memutar film itu di dalam batin kita.
David Hume (1711-1776)
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada David Hume ini, sebab ini merupakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal. Terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab-akibat) menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya, putih, licin, erat, dan sebagainya). Tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa dibelakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya, sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume nampak lebih konsekuen daripada Berkeley.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan komentar anda yang membangun demi kemajuan Blog ini.