HAKIKAT NIAT
Niat secara bahasa adalah al-qashdu
(maksud) dan al-iradah (keinginan). Ia bukanlah perkataan
seseorang ‘nawaitu kadza wa kadza (aku niat begini dan begitu)’. Ulama
telah mengatakan bahwa melafazhkan niat ketika shalat dan ibadah-ibadah lainnya
merupakan suatu yang diada-adakan (Bid’ah) dalam agama. Tidak pernah
dikutip seorang pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik
dengan sanad yang shahih maupun dha’if.
Pada zaman sekarang sangat banyak
manusia melafazhkan niatnya, dan mereka menyandarkan perbuatan mereka itu
kepada madzhab Asy-Syafi’i. perbuatan ini bermula dari terkecohnya sebagian
ulama muta’akhirin dengan perkataan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’
(Asy-Syafi’i) tentang shalat, “Bahwa shalat itu tidak sama dengan puasa, dan
seseorang yang memasuki shalat harus dilakukan dengan dzikir.” Ibnul Qayyim
berkata ketika mengomentari perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas, “Sebagian
orang mengira bahwa yang dimaksud dzikir disini adalah melafalkan niat. Padahal
yang dimaksud Asy-Syafi’i dengan dzikir adalah takbiratul ihram, tidak lain”.[1]
Juga telah shahih riwayat dari Ibnu
Umar sesungguhnya ia mendengar seorang lelaki berkata (yakni melafazhkan niat)
ketika ihramnya, “Allaahumma innii uriidu al-hajja wa al-‘umrah (Ya Allah
sesungguhnya aku ingin melaksanakan haji dan umrah)”, maka Ibnu Umar
berkata kepadanya, “Apakah kamu ingin memberitahu manusia? Bukankah Allah
Maha Mengetahui dengan apa yang ada dalam dirimu? Niat itu adalah maksud atau
keinginan hati, dan tidak wajib melafazhkan niat dalam ibadah apapun”.[2]
Diriwayatkan ketika Al-Fadhl bin
Ziyad bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang niat dalam
beramal, bagaimana niat itu? Beliau (Imam Ahmad) menjawab, “Hendaklah ia
memeriksa dirinya ketika beramal bahwa ia tidak menginginkan manusia dengan
amalnya”.[3]
AMALAN TERGANTUNG PADA NIATNYA
Telah
diriwayatkan dalam Ash-Shahihain[4]
hadits Umar bin Al-Khaththab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya:
“Sesungguhnya setiap amalan itu
(tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan apa
yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
karena harta dunia yang hendak diraihnya atau wanita yang hendak dinikahinya,
maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya”.
Imam As-Syafi’i berkata, “Hadits
ini sepertiga ilmu”. Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam terdiri dari
tiga hadits, yaitu hadits Umar (hadits ini), hadits Aisyah (Barangsiaipa yang
mengada-ada perkara baru dalam urusan agama kami ini, yang bukan berasal
darinya, maka amalannya tertolak), dan hadits An-Nu’man bin Basyir
(Sesungguhnya yang halal dan yang haram telah jelas)”.[5]
Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam, “Sesungguhnya setiap amalan itu
(tergantung) pada niatnya” maksudnya bahwa amalan yang sesuai sunnah tidak
diterima kecuali dengan baiknya niat dari pelakunya. Maka amalan itu tidak akan
menjadi baik kecuali dengan dua syarat,
yaitu baiknya amal atau ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam. Allah
Ta’ala berfirman:
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âÍyèø9$# âqàÿtóø9$#
Artinya:
“(Allah) yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al-Mulk:
2)
Firman-Nya
“Ahsanu ‘amala (yang paling baik amalannya)” maksudnya adalah yang
paling ikhlas dan paling benar. Adapun ikhlas menjadikan amalan tersebut hanya
untuk Allah semata, sedangkan benar ialah sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Demikian yang dikatakan oleh al-Fudhail bin ‘Iyad.[6]
Kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala:
Artinya:
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya". QS.
Al-Kahf: 110)
BALASAN AMAL TERGANTUNG PADA NIATNYA
Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam, “Dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan apa yang ia
niatkan” maksudnya seseorang itu akan mendapat balasan dari amalan yang
sesuai sunnah berdasarkan niat pelakunya. Jika niatnya baik maka balasannya
baik, namun jika buruk maka balasannya pun akan buruk. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (QS.
Al-Hajj:37)
Artinya:
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hud:
15-16)
Imam
Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits Zaid bin Tsabit, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai
keinginannya, maka Allah akan ceraikan urusannya dan menjadikan kefakiran
diantara kedua matanya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali apa yang
telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai
niatnya, maka Allah akan mengumpulkan urusannya dan menjadikan kekayaan di
hatinya, serta dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina (tunduk)”.[7]
Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memberikan salah satu contoh amalan yang sama namun balasan yang
berbeda dikarenakan bedanya niat dari pelakunya. Sebagaimana sabdanya, “Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena
Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang
hendak diraihnya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu
hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya”.
Walaupun
amalan tersebut tampak sama secara zhahir namun mereka mendapatkan balasan yang
berbeda berdasarkan niatnya masing-masing. Karena Allah tidaklah melihat jasad
dan rupa hamba, namun Dia melihat hati dan amalan mereka. Rasulullah shallallahu
‘alaih wasallam bersabda,
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم , ولكن إنما ينظر إلى
أعمالكم وقلوبكم
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat
jasad-jasad kalian, tidak pula kepada rupa-rupa kalian, akan tetapi Allah
melihat hati dan amalan kalian”.[8]
Seseorang hamba yang tidak ikhlas
dalam amalnya, maka ia tidak akan mendapatkan apapun dalam amalannya tersebut. Telah
diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari hadits Abu Umamah, ia berkata, “Datang seorang
laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Apa menurut pendapatmu tentang seseorang
yang berperang untuk mencari pahala dan agar dikenang?’ Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda, ‘Tidak ada sesuatu pun untuknya’. Kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dengan
ikhlas, dan mencari dengan amalan tersebut wajah-Nya’”.[9]
Hal demIkian
karena Allah adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan sekutu. Diriwayatkan
dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam dia
bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah Dzat yang paling
tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang beramal dengan menyekutukan-Ku
dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku akan meninggalkannya beserta sekutunya”.[10]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya[11]
dari hadits Abi Sa’id bin Abi Fadhalah[12]
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam bersabda, “Ketika
Allah mengumpulkan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian pada hari
yang tidak ada keraguan padanya, kemudian diserukan, ‘Barangsiapa yang
menyekutukan Allah ‘Azza wa Jalla dalam amalannya, maka carilah pahalanya dari
selain Allah ‘Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya Allah Dzat yang paling tidak
membutuhkan sekutu’”.
URGENSI
IKHLAS
Diriwayatkan dari Umar bin
Al-Khaththab bahwa ia berkata, “Amalan yag paling afdhal adalah menunaikan
apa saja yang telah Allah Ta’ala
fardhukan, bersikap wara’ dari yang haram, membenarkan niat pada apa
yang ada di sisi Allah”.[13]
Yahya bin Abi Katsri berkata, “Pelajarilah
niat, karena sesungguhnya niat itu akan menyampaikan kepada amal”. Yusuf
bin Asbath berkata, “Mengikhlaskan niat dari kerusakan sangat susah bagi
orang yang beramal”. Mutharif bin Abdullah berkata, “Hati baik dengan
baiknya amal, dan amal menjadi baik dengan baiknya niat”. Ibnu Al-Mubarak
berkata, “Terkadang amalan kecil menjadi besar karena niat, dan terkadang
amalan besar menjadi kecil pula karena niat”.[14]
Ibnu Al-Qayyim berkata, “Hati
yang suci adalah hati yang bersih dari kesyirikan terhadap Allah dalam beragam
bentuknya, bahkan ibadahnya murni hanya untuk Allah, kehendak dan cintanya
hanya ditujukan kepada-Nya, dengan tawakal dan kembali hanya kepada-Nya,
khasysyah dan harapannya hanya kepada-Nya, serta menjadikan semua amalannya
tulus karena Allah. Ringkasnya hati yang selamat dari syahwat yang menyelisihi
perintah dan larangan Allah, dengan segala syubhat yang menentang hadits”.[15]
Beliau juga mengatakan di tempat yang lain, “Tauhid, tawakal, dan
keikhlasan akan menjaganya dari setan”.[16]
Keikhlasan
merupakan kekuatan yang sangat dahsyat, sebagaimana yang di jelaskan oleh
Asy-Syinqithi. Beliau berkata, “Allah menjelaskan bahwa jika Dia mengetahui
adanya keikhlasan pada hati-hati hamba-Nya sebagaimana seharusnya, maka
diantara hasil dari keikhlasan itu adalah bahwa mereka akan mengalakan orang
yang lebih kuat dari mereka, karena itulah ketika Allah mengetahui keikhlasan
pada diri sahabat yang ikut Baiat Ar-Ridwan, sebagaimana diungkapkan dalam
firman-Nya,
Artinya:
“Maka
Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka”. (QS. Al-Fath: 18)
Maka Dia
menjelaskan bahwa diantara buah dari keikhlasan adalah bahwa Allah menjadikan
mereka sanggup mengalahkan orang yang sebelumnya menguasai mereka, hal ini
sebagaimana dalam firman-Nya,
Artinya:
“Dan (telah
menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang
kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya”. (QS. Al-Fath:
21)
Allah
menegaskan bahwa mereka tidak dapat mengalahkannya, dan Allah menguasainya,
lalu Allah menjadikannya harta rampasan perang bagi mereka ketika Dia
mengetahui keikhlasan mereka”.[17]
Fawwaz bin
Hulayyil As-Suhaimi berkata, “Setiap dakwah yang berpegang teguh bukan pada
keikhlasan, baik karena sum’ah, riya’, syuhrah,[18]
atau karena mengharapkan kedudukan, karena kebutuhan politik dunia, atau karena
mengharapkan gemerlapnya dunia, maka juru dakwah yang demikian tentu tidak akan
berhasil dan perkaranya akan gagal”.[19]
JADIKANLAH SEMUA AKTIFITAS SEBAGAI IBADAH
Hendaklah
seorang hamba memerhatikan semua tingkah laku yang muncul dari dirinya, baik
itu perkataan, perbuatan ataupun keinginan, agar menjadikannya sebagai ibadah.
Wahai hamba Allah, letakkanlah selalu ayat berikut ini di depan matamu:
Artinya:
“Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah)".
(QS. Al-An’am:162-163)
Hendaklah
kamu menjadi orang yang berniat baik, janganlah kamu menjadi orang yang
kebanyakan melakukan adat kebiasaan, arahkan semua urusanmu kepada Allah dengan
niat yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaih wassalam bersabda, “Sesungguhnya
setiap amalan itu tergantung pada niatnya…”.[20]
Bersungguh-sungguhlah
dalam menyibukkan diri dengan ketaatan dalam setiap waktu dan tempat,
jadikanlah lidahmu senantiasa berdzikir, hatimu senantiasa bersyukur, hartamu
dimanfaatkan untuk bersedekah dan infak di jalan Allah, jadikan pendengaran,
pandangan, dan pemikiranmu pada hal-hal yang dicintai dan diridhai Allah.
Letakkanlah hadits Abi Dzar di depan matamu, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk
dengan melakukan kebaikan, niscaya dia (kebaikan) akan menghapusnya
(keburukan), pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.[21]
[1]
Ibnul Qayyim. Zad Al-Ma’ad. (I/185). Cetakan Pustaka Al-Kautsar.
[2]
Ahmad Muhammad An-Na’an. Tazkiyah An-Nufus. (Al-Madinah Al-Munawwarah:
Maktabah Asy-Syuruq). h. 17.
[3]
Ahmad Farid. As-Salafiyyah fi Syarh Al-Khamsin Ar-Rajabiyyah. (Kairo:
Dar Ibnu Al-Jauzi). h. 16.
[4] HR.
Al-Bukhari (no. 1), Muslim (no. 1907)
[5] As-Salafiyyah
fi Syarh Al-Khamsin Ar-Rajabiyyah. h. 16. Lihat juga Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.
[6]
Lihat Jami’ Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali.
[7]
Hadits Shahih diriwayatkann Ahmad (V/183), dan Ibnu Majah (no.4105).
[8] HR.
Muslim dalam kitab al-Birr wa Ash-Shilah, 16/183m Ibnu Majah (no. 4143)
dan ini lafazhnya.
[9]
Hadits qawiy, dikeluarkan An-Nasa’I (VI/25), dan Ath-Thabrani (7628).
[10] HR.
Muslim (no.2985)
[11]
Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya (III/446), (IV/215), hadits ini kuat.
Ali bin Al-Madini berkata, “Sanadnya bagus”.
[12] Ia
termasuk Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaih wasslam. Wallahu a’lam.
[13]
Ahmad Muhammad An-Na’an. Tazkiyah An-Nufus. H. 17.
[14]
Lihat Jami’ Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, As-Salafiyyah fi Syarh
AL-Khamsin Ar-Rajabiyyah oleh Ahmad Farid, dan Tazkiyah An-Nufus oleh
Ahmad Muhammad An-Na’an.
[15]
Ibnu Al-Qayyim. Igatsah AL-Lahfan min Maqashid Asy-Syaithan. (I/9).
[16] Ibid.
(I/45).
[17] Al-Islam
Din Al-Kamilun, Muhammad Amin Asy-Syinqithi, h. 49.
[18] Syuhrah
adalah ingin dikenal orang lain.
[19]
Fawwaz bin Hulayyil As-Suhaimi. Usus Manhaj As-Salaf fi Ad-Da’wah ila Allah.
(Jakarta: Darul Haq). h. 34.
[20] HR.
Al-Bukhari (no. 1), Muslim (no. 1907)
[21] HR.
at-Tirmidzi (no.1987), dan selainnya. At-Tirmidzi menghasankannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan komentar anda yang membangun demi kemajuan Blog ini.